Mahasiswi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Poltekkes Kemenkes Makassar

Rabu, 11 April 2018

NEMATODA INTESTINAL/ NEMATODA USUS


NEMATODA INTESTINAL/ NEMATODA USUS

Nama                           : Ainan Dwi Lestari
NIM                            : PO713203171003
Prodi/ Jurusan             : D-III Analis Kesehatan
Mata Kuliah                : Parasitologi I
Dosen                          : Novi Utami Dewi, SKM., M.Kes.



PEMBAHASAN

A.      Nematoda
1.         Nematoda secara Umum
Nematoda yang hidup sebagai parasit, merupakan jumlah spesies paling banyak. Kebanyakan hidup bebas di air tawar, laut serta ada juga yang hidup di lumpur atau tanah perkebunan. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship).
a)        Morfologi dan Daur Hidup
Besar dan panjang cacing Nematoda beragam; ada yang panjang beberapa milimeter dan ada pula yang melebihi satu meter. Cacing ini mempunyai kepala, ekor, dinding dan rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap.
Biasanya sistem pencernaan, ekskresi dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur, tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembang biak secara partenogenesis. Cacing dewasa tidak bertambah banyak dalam badan manusia. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai 200.000 butir sehari. Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan. Hampir semua nematoda mempunyai daur hidup yang telah diketahui dengan pasti.
b)       Pembagian Menurut Habitat
Menurut habitat (tempat tinggal cacing dewasa), nematoda dibagi dua kelompok, yaitu nematoda usus dan nematoda darah dan jaringan.

2.         Nematoda Usus
Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan cara penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus yang ditularkan melalui tanah soil transmitted heminths yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektif.
Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted heminths” yang terpenting bagi manusia adalah sebagai berikut :
·           Ascaris lumbricoides
Distribusi georafik         : Kosmopolit
·           Necator americanus
Distribusi geografik       : Daerah khatulistiwa, daerah pertambangan, perkebunan
·           Ancylostoma duodenale
Distribusi geografik       : Daerah khatulistiwa, daerah pertambangan, perkebunan
·           Trichuris trichiura
Distribusi geografik       : Kosmopolit (daerah panas dan lembab)
·           Strongyloides stercoralis
Distribusi geografik       : Daerah subtropik dan tropic
·           Trichostrongylus (beberapa jenisnya)
Distribusi geografi         : Kosmopolit (terutama daerah subtropik dan tropik)
Kelompok lainnya yaitu nematoda usus yang tidak membutuhkan tanah dalam siklus hidupnya, yaitu spesies :
·           Enterobius vermicularis
Distribusi geografik       : Kosmopolit (lebih banyak di daerah dingin)
·           Trichinella spiralis
Distribusi geografik       :
Kosmopolit (lebih banyak di negara pemakan sosis dari daging babi
·           Capillaria philippinensis
Distribusi geografik       :
Filipina dan Thailand (terutama penduduk yang makan ikan mentah)

B.       Nematoda Usus yang Penting Bagi Manusia
1.         Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a)        Hospes dan Penyakit
Manusia merupakan satu-satunya yang menjadi hospes dari Ascaris Lumbricoides (cacing gelang).Penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris Lumbricoides disebut Askariasis. Taksonomi Ascaris Lumbricoides, yaitu:
·           Phylum        : Nematoda
·           Kelas           : Secernentea
·           Ordo           : Ascaridida
·           Family         : Ascarididae
·           Genus          : Ascaris
·           Spesies        : Ascaris lumbricoides

b)       Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan  bahwa prevalensi Ascaris Lumbricoides masih cukup tinggi, yaitu sekitar 60-90%.
c)        Epidemiologi
Di negara Indonesia prevalensi penyakit askariasis tinggi, terutama terjadi pada anak. Frekuensinya 60-70%. Penyakit askariasis ini terjadi akibat kurangnya pemakaian jamban keluarga sehingga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah.Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu 25-30°C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris Lumbricoides menjadi bentuk yang infektif.
d)       Morfologi
Morfologi cacing A. Lumbricoides
Ukuran cacing dewasa :
Jantan
Betina

Panjang 15-30 cm, lebar 0,2-0,4 cm
Panjang 20-35 cm, lebar 0,3-0,6 cm
Umur cacing dewasa
1 – 2 tahun
Lokasi cacing dewasa
Usus Halus
Ukuran telur
Panjang 60-70 µm, lebar 40-50 µm
Jumlah telur/cacing betina/hari
± 200.000 telur
e)        Daur Hidup
Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk  yang infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan oleh manusia, akan menetas dalam usus halus. Larvanya menembus dinding dari usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu di alirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru.
Larva di paru menembud dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudia naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan terhadap faring. Hal ini menyebabkan penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam oesophagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 minggu.
f)         Patologi dan Gejala Klinik
Gejala klinik oleh A. lumbricoides bergantung pada beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan penderita, daya tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi  cacing. Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa ataupun oleh stadium larva. Cacing dewasa, tinggal di antara lipatan mukosa usus halus, sehingga dapat menimbulkan iritasi yang mengakibatkan rasa tidak enak pada perut berupa mual serta sakit perut yang tidak jelas.Kadang- kadang cacing dewasa dapat terbawa kea rah mulut karena adanya kontraksi usus (regurgitasi) dan dimuntahkan keluar melalui mulut atau hidung.Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, kadang-kadang dapat masuk juga ke tuba eustachii ataupun terisap masuk ke bronkus.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru, terutama pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks akan tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut Sindrom Loeffler.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar.Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
g)        Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung.Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis.Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.
h)       Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk perorangan dapat digunakan beberapa obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. Jika terjadi infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura. Sedangkan untuk pengobatan masal dapat dilakukan beberapa cara diantaranya :
·           obat mudah diterima masyarakat,
·           aturan pemakaian sederhana,
·           mempunyai efek samping yang minim,
·           bersifat polivalen, sehingga berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing,
·           harganya murah / terjangkau.
i)          Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis yang baik. Tanpa pengobatan, penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan mencapai 70-99%.

2.         Cacing Tambang
Necator americanus dan Ancylostoma deudonale merupakan cacing tambang yang paling utama menginfeksi manusia namun terdapat juga Ancylostoma spp. yang menginfeksi hewan, kemudian menginfeksi manusia contohnya Ancylostoma caninum(anjing, kucing), Ancylostoma braziliense (kucing, anjing), Ancylostoma ceylanicum(anjing, kucing). Berikut penjelasan terperinci tentang macam-macam cacing yang telah disebutkan di atas :
Necator americanus
a)        Morfologi dan Siklus Hidup
Habitat, dalam usus terutama di daerah jejunum, sedangkan pada infeksi berat dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Manusia merupakan hospes definitf tempat cacing ini tidak membutuhkan tuan rumah perantara.
Cacing dewasa yang masih hidup berwarna putih abu-abu sampai kemerah-merahan, kedua spesies ini diatas mempunyai morfologi mirip satu sama lainnya, perbedaan yang khas antara lain bentuknya terutama pada cacing betina, pada Necator americanus menyerupai huruf S sedangkan pada Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Bagian yang dapat dpakai untuk mengidentifikasi kedua cacing tambang diatas antara lain bagian anterior, terdapat buccal capsule (rongga mulut) sedangkan pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa kopulasi, suatu membran yang lebar dan jernih, berfungsi memegang cacing betina pada waktu kopulasi pada kloaka terdapat dua buah spikula yang dapat pula membedakan spesies cacing tambang.
Necator americanus memiliki buccal capsule yang sempit, pada dinding ventral terdapat sepasang benda pemotong berbentuk bulan sabit (semilunar cutting plate) sedangkan sepasang lagi kurang nyata terdapat pada dinding dorsal. Cacing jantan berukuran 7-9 mm x 0,3mm , memiliki bursa kopulasi bulat dengan dorsal rays dua cabang. Didapat dua spikula yang letaknya berdempetan serta unjungnya terkait. Cacing betina, memiliki ukuran 9-11mm x 0,4mm , pada ujung posterior tidak didapatkan spina kaudal, vulva terletak pada bagian anterior kira-kira pertengahan tubuh.
Bentuk telur Necator americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale.Jumalah telur perhari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator americanus sekitar 9000– 10.000.
Telur keluar bersama tinja pada tanah yang cukup baik, suhu optimal 23-33oC, dalam 24-48 jam akan menetas, keluar larva rhabiditiform yang berukuran (250-300)x 17m. Larva ini mulutnya akan terbuka dan aktif memakan sampah organik atau bakteri pada tanah sekitar tinja. Pada hari kelima, berubah menjadi larva filariform yang infektif.Larva ini ini tidak makan, mulutny atertutup, esofagus panjang, ekor tajam, dapta hidup pada tanah yang baik selama dua minggu. Jika larva menyentuh kulit manusia, biasanya pada sela antara 2 jari kaki atau dorsum pedis, melalui folikel rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang rusak, larva secara aktif menembus kulit masuk kedalam kapiler darah, terbawa aliran darah, kemudian terjadi seperti pasa Ascaris lumbricoides. Waktu yang diperlukan dalam pengembaraan sampai ke usus halus membutuhkan waktu kira-kira 10hari.Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih 10 tahun.Infeksi peroral jarang terjadi, tapi larva juga dapat masuk ke dalam badan melalui air minum atau makanan yang terkontaminasi.
b)       Penyebaran
Kosmopolit, terutama didaerah khatulistiwa pada daerah pertambangan.Tanah yang peling baik untuk berkembangnya telur dan larva, yaitu tanah pasir, tanah liat atau lumpur yang tertutup daun, terhindar darisinar matahari langsung dan juga terhindar dari pengeringan atau basah berlebih.Terdapat diperkebunan kopi, karet serta di pertambangan-pertambangan.Paling sering menyarang orang dewasa teruama laki-laki. Di Indonesia lebih sering infeksi oleh Necator americanus daripada Ancylostoma duodenale.
c)        Patologi dan Klinik
Infeksi cacing tambang hakikatnya adalah infeksi menahun sehingga sering tidak menimbulkan gejala akut.Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkanm baik oleh larva maupun oleh cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau drew itch. Waktu larva berada dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan pneumonitis.
Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan persaan tidak enak di perut, mual , diare. Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2 – 0,3ml sehari sehingga dapat menimbulkan anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe defisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tempak adanya anemi.Pada infeksi berat, Hb dapat turun sampai 2gr%, penderita merasa sesak nafas waktu melakukan kegiatan, lemah dan pusing kepala.Terjadi perubahan pada jantung yang mengalami hipertrofi, adanya bising katup serta nadi cepat. Keadaan demikian akan dapat menimbulkan kelemahan jantung. Jika terjadi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental.Infek Ancylostoma duodenalelebih berat dari Necator americanus.
d)       Diagnosis
Gejala klinis biasanya tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis infeksi cacing tambang perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dapat menemukan telur tambang didalam tinja ataupun menemukan larva cacing tambang dalam biakan atau pada tinja yang sudah agak lama.
Beratnya infeksi cacing tambang ditentukan bedasarkan jumlah telur dalam tinja atau jumlah cacing betina dapat dipakai untuk patokan berdasarkan “Parasitic Disease Programme, WHO, Geneva, 1981” dalam “The Tenth Regional Training Course OnSoil-Transmitted Helminthiasis And Integrated Program On Family Planning Natutrition And Parasite Control Thailand, 1986”
e)        Pengobatan
Tettrachorethylen merupakan obat pilihan untuk Necator americanus dan cukup efektif untuk Ancylostoma duodenale.Diberikan dalam dosis tunggal 0,10-0,12mg/kg BB, dengan dosis maksimal 4mg. Mebendazole, dosis dan cara pengobatan sama dengan pada trichuriasis. Albendazole dan pyrantel pamoate, dosis dan cara pengobatannya sama dengan penderita ascariasis. Bitoskanat dengan dosisi tunggal pada orang dewasa 150mg. Befenium hidroksinaftoat, efektif bagi kedua spesies terutama untuk Ancylostoma duodenale.Diberikan dengan dosisi 5gr per hari selama tiga hari berturut-turut.
f)         Pencegahan
Sama dengan pencegahan pada penderita ascariasis dengan tambahan membiasakan diri memakai sepatu terutama sekali waktu bekerja dkebun atau di pertambangan.

Ancylostoma deudonale
a)        Hospes dan Nama Penyakit
Hospes parasit ini adalah manusia, tetapi dapat juga hewan seperti babi, kera, harimau, dan hamster ; penyakit yang disebabkannya dinamakan ancylostoma seperti nama genusnya.
b)       Distribusi Georgrafis
Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Pernah dilaporkan bahwa lebih dari 500 juta manusia di seluruh dunia terinfeksi cacing ini, namun daerah yang paling tingggi prevelensinya adalah daerah tropis yang lembab dengan higiene sanitasi yang rendah seperti Asia Tenggara. Dilaporkan juga bahwa daerah sub tropis, daerah yang beriklim sedang dengan kelembaban yang sama seperti daerah tropis, mislanya di tambang-tambang, memiliki prevelensi yang tinggi juga. Ancylostoma duodenale juga banyak ditemukan di Afrika Utara, daerah lembah sungai Nil, India bagian utara juga serta Amerika selatan.Ancylostoma duodenale yang ditemukan Dubin saat ini disebut juga Old word hookworm.
c)        Epidemiologi
Ancylostoma duodenale dan semua spesies hookworm lainnya bersama dengan ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan strongiloides stercoralisdikelompokkan sebagai cacing yangditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth), karena cara penularannya dari satu orang ke orang lain melalui tanah. Secara descritive epidemiologi, soil transmitted helminth biasa terdapat didaerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang. Secara analytical epidemiology, dikenal beberapa faktor yang mempengaruhi epidemiologi soil transmitted helminth. Faktor yang pertama adalah tanah. Dalam hal ini dikenal tiga jenis tanah, yaitu : pasir atau sand (berdiameter 0, 05 - 2 mm), lumpur atau slit (berdiameter 0,05 - 0,02 mm), dan tanah liat atau clay (berdiameter 0,02mm - 2 µ). Ketiga jenis tanah ini dibedakan berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Sebagai contoh untuk membuat lembab pasir sebesar 50% dibutuhkan 10 ml air untuk  setiap 3 kg, sedangkan untuk melembabkan tanah liat dibutuhkan 120 ml air per kg tanah liat.
Faktor kedua adalah curah hujan, karena curah hujan sangat besar kaitannya dengan kelembaban. Pada saat curah hujan belum lebat ( misalnya pada permulaan musim hujan ), arus air yang ditimbulkan masih lambat. Arus air yang lambat ini merupakan perangsang bagi larva hookworm untuk bergerak menentang arus. Bila arus air meresap ke dalam pasir, maka larva hookworm akan bergerak ke permukaan tanah dan mempermudah terjadinya infeksi.
Bilamana musim hujan sudah berlangsung dan hujan turun dengan lebat, maka curah hujan menjadi sedemikian besar dan akan menyapu seluruh larva di pasir masuk jauh ke dalam tanah. Kejadian inilah yang menerangkan mengapa dipermulaan musim hujan penularan hookworm lebih tinggi daripada saat musim hujan.
Faktor berikutnya adalah suhu udara.Suhu paling tinggi yang masih dapat ditahan oleh larva cacing adalah 450C. Untuk larva hookworm suhunya adalah 250-300C.Khusus untuk larva hookworm, diketahui bahwa larva ini memiliki daya thermotaxis yaitu selalu bergerak ke suhu yang lebih tinggi, walaupun suhu tersebut 1000C dan dapat membunuhnya.
Sehubungan dengan faktor curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa kedua faktor tadi berkolerasi erat dengan periode transmisi penyakit cacing tambang.Transmisi yang terbaik terjadi pada musim penghujan dengan suhu udara tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi epidemiology soil transmitted helminth adalah kadar oksigen, angin, sinar matahari, dan vegetasi.
d)       Morfologi dan Daur Hidup
Telur ancylostoma duodenale sebenarnya sulit dibedakan dengan telur hookworm yang lain. Oleh karena itu apabila ditemukan dalam tinja tidak pernah dikatakan sebagai telur Ancylostoma duodenale, tetapi disebutkan sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur yang seirng ditemukan adalah telur muda dengan 4-8 sel morula ( unsegmented egg ) atau telur yang telah mengandung embrio. Telur ini berukuran 55-75 x 35 x 42 m, berbentuk oval sampai elips.Dinding telur tipis terdiri dari satu lapis.Karena tidak mungkin mengidektifikasikan spesies cacing berdasarkan telurnya, maka biasanya orang mngkultur telur sampai menjadi larva.Dari bentuk larva ini dapat didentifikasi spesies cacingnya.
Larva fase pertama dari cacing ini berukuran 0,2 mm. Di bagian anterior tubuhnya terlihat adanya buccal capsule yang melanjutkan dirinya menjadi esofagus bertipe rhabditiform. Nampak pula adanya genital premordial yang nantinya menjadi alat kelamin jantan atau betina.
Fase kedua berukuran 0,4 mm dan nampak buccal capsule-nya mulai memanjang, tetapi esofagusnya masih bertipe rhabditiform. Oleh karena itu larva fase pertama dan kedua dinamakan larva rhabditiform.Genital premordial masih nampak pada fase ini.Yang membedakan larva fase pertama dan kedua adalah ditemukannya granula berwarna gelap sebagai timbunan makanan di tubuh larva fase kedua, sebab pada fase ini larva mulai menimbun makanan.
Larva fase ketiga atau larva filariform mempunyai buccal capsule dan esofagus bertipe filariform, genital premordialnya tidak dapat ditemukan lagi. Larva filariform disebut juga restinglarva, sebab larva ini tidak makan (mulutnya tertutup) dan ia memperoleh makanan dari granula yang tertimbun pada masa menjadi larva fase kedua, sehingga pada akhir fase ini tubuhnya tampak bersih.
Secara umum karakteristik berikut dapat digunakan untuk mengidentifikasi larva ancylosotoma duodenale, yaitu : Bagian anterior tubuhnya berbentuk datar (flat), bentuk buccal capsule-nya tidak teratur dan tipis, bagian posterior esofagusnya lebih lebar daripada bagian anterior ususnya, nampak ada bangunan yang membatasi bagian posterior esofagus dan bagian anterior usus, bagian posterior tubuhnya tumpul, sheath ( selubung )-nya rata dan tidak tampak bergaris-garis ( striae ), genital premordialnya terletak di sebelah posterior dari pertengahan tubuhnya.
Cacing dewasa jantan maupun betina pada bagian anterior tubuhnya memiliki 2 pasang gigi yang dipergunakan untuk melukai host. Cacing dewasa jantan berukuran 8 - 11 mm sedangkan yang betina berukuran 10 - 13 mm. Selain ukurannya, cacing dewasa jantan dan betina dibedakan berdasarkan ada tidaknya bursa pada bagian posterior tubuhnya. Cacing betina dewasa tidak memiliki bursa, tetapi memiliki sepasang ovarium yang bermuara di vulva yang terletak di bagian anterior tubuhnya. Bursa dan rays pada cacing jantan dewasa dilengkapi dengan sepasang spicule yang berbentuk seperti rambut. Dorsal rays pada cacing ini memiliki tiga buah percabangan ( tripartite ).
e)        Manifestasi Klinis
Sejak larva filariform menembus kulit, cacing ini telah menimbulkan gejala berupa perasaan gatal, erythema, dan vesikulasi.Sebagai manifestasi dari hipersensitivitas tubuh terhadap larva yang masuk.Timbulah eosinofilia dan hiperemia bahkan smapai terjadi edema. Keadaan ini akan berlangsung kurang lebuh selama 2 minggu.
Pada saat larva bermigrasi menuju paru, timbulah gangguan batuk ringan atau bahkan asimtomatis, tetapi pada sata ini, eosinofilia terjadi pada jlebih dari 70% penderita.
Setelah cacing menjadi dewasa di usus  timbulah gejala lain. Namun gejala yang timbul sangat tergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi,  lamanya infeksi, daya tahan tubuh, dan status nutrisi penderita. Gejala yang timbul dapat berupa dispepsia, nausea, dan perasaan tidak enak di daerah epigastrium.Pada tahap selanjutnya dapat terjadi konstipasi atau diare dan mikrositik hipokromik anemia. Bila telah tejadi anemia, tidak jarang dijumpai penderita menjadi geophagi ( pica ). Hal ini dapat dimengerti mengingat seekor cacing menghisap 0,03 – 0,15 ml darah perhari. Pada pemeriksaan patologi anatomi dijumpai hemorrhagi, inflamasi, atau uleus di mukosa usus.
Pada infeksi kronis, penderita menjadi malnutrisi, hipoproteinomia dan anemia yang berat yang mengakibatkan cardiomegali.Infeksi kronis pada anak-anak tidak jarang menimbulkan gangguan pertumbuhan dan kemunduran mental.
f)         Pencegahan
Maka cara pencegahan cacing tambang adalah :
·           Pencegahan terjadinya kontaminasi tanah dengan tinja misalnya dengan pembunatan jamban yang memenuhi syarat kesehatan;
·           Perlunya penekanan tentang bahaya penggunaan tinja sebagai pupuk;
·           Penyuluhan kesehatan bagi masyarakat;
·           Melakukan survei prevalensi kecacingan terutama didaerah yang endemis termasuk survei tanah yang terkontaminasi.
g)        Pengobatan
Obat pilihan untuk ancylostomiasis adalah Mebendazole, namun dapat juga digunakan Albendazole, Flebendazole ataupun Alcopara ( Bephinium ). Berhubung kebanyakan penderita ancylostomiasis mengalami anemia, maka pengobatan dengan preparat besi sangat dianjurkan. Biasanya bila kadar Hb sangat rendah lebih baik mengobati anemianya dahulu sebelum memberikan obat cacing. Disamping itu bila terjadi infeksi campuran dengan cacing Ascaris lumbricoides, sebaiknyha cacing ini dimusnahkan terlebih dahulu sebelum mengobati ancylostomiasis, sebab bila tidak Ascaris lumbricoidesakan sangat teriritasi dan menimbulkan migrasi abnormal.

3.         Trichuris trichiura
Trichuris trichiura, Biasa disebut trichocephalus dispar atau lebih dikenal dengan nama cacing cambuk, karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Hingga saat ini lebih dikenal lebih dari 20 spesies trichuris spp, tetapi yang menginfeksi manusia hanya trichuris trichiura dan trichuris vulpis. Cacing ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia bila menginfeksi dalam jumlah yang banyak.
a)        Taksonomi
·           Filum                       : Nemathelminthes
·           Kelas                       : Nematoda
·           Subkelas                  : Adhenophorea
·           Ordo                       : Epoplida
·           Superfamily             : Trichinellidae
·           Family                     : Trichuridae
·           Genus                      : Trichuris
·           Spesies                    : Trichuris Trichiura
              (linaeus : 1771), (Jeffry HC dan Leach RM,1983)
b)       Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan hospes definitif utama pada cacing cambuk, walaupun kadang-kadang terdapat juga pada hewan seperti babi dan kera. Penyakit yang disebabkan disebut trichuriasis atau trichocepaliasis.
c)        Distribusi Geografik
Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti di Indonesia
d)       Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja.Telur tumbuh di tanah liat, lembap dan teduh dengan suhu optimujm 300 C. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.Frekuensi di Indonesia tinggi.Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-90%.
Di daerah yang sangat endemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentanjg sanitasi dan kebersihan perorangan terutama anak.Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
e)        Morfologi
Panjang cacing betina kira-kira 5cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4cm. bagian anterior lansing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul.Pada cacing jantan mlingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon ascenden dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk kedalam  mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir
Tabel 1.1 karakteristikTrichurisTrichiura
Karakteristik
Trichuristrichiura
Ukuran cacing dewasa
Jantan
30-45 mm
Betina
35-50 mm
Telur
Panjang 50-55µm
Lebar 22-24 µm
Lokasi cacing dewasa
Sekum dan kolonasenden
Jumlah telur/ hari/ cacing betina
3000-20000 butir

f)         Siklus Hidup
Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga disebut cacing cambuk. Tiga per-lima bagian interior tubuh halus seperti benang, pada ujungnya terdapat kepala (trix = rambut, aura = ekor, cephalus = kepala), esophagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus esophagus. Bagian anterior yang halus ini akan menancapkan dirinya pada mukosa usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus dan perangkat alat kelamin.
Cacing jantan memiliki panjang 30-45mm, bagian posterior melengkung kedepan sehingga membentuk satu lingkaran penuh.Pada bagian posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol keluar melalui selaput retraksi.Cacing betina panjangnya 30-50mm ujung posterior tubuhnya membulat tumpul.Organ kelamin tidak berpasangan (simpleks) dan berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.
Telur, berukuran  50x25m, memiliki bentuk seperti tempayan, pada kedua kutubnya terdapat operculum, yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol. Dindingnya terdiri atas dua lapis, bagian dalam jernih, bagian luar berwarna kecoklat-coklatan. Sehari, tiap ekor cacing betina menghasilkan 3000-4000 telur ; telur ini terapung dalam larutan garam jenuh.
Telur yang keluar bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum membelah) tidak infektif.Telur demikian ini perlu pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Dengan demikian, cacing ini termasuk “ Soil Transmitted Helmints” tempat tanah berfungsi dalam pematangan telur.
Manusia mendapat infeksi jika telur yang infektif tertelan.Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami  migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-paru.
Waktu yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur, 30-90 hari. Trichuris trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak membutuhkan tuan rumah perantara.
g)        Gejala Klinis dan Patologi
Cacing Tricuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asedens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum.Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.Ditempat pelekatannya dapat terjadi perdarahan.Disamping itu cacing ini juga menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Tricuris yang berat dan menahun, menunjukann gejala diare yang sering diselilingi sindrom disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.
Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringann biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit sering ditemukan pada pemeriksaan tinja secara rutin.
h)       Pengobatan
·           Albendazol 400mg (dosis tunggal)
·           Mebendazol 100mg (dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut)

4.         Strongyloides stercoralis
Strongyloides adalah spesies yang terdapat secara luas dinegara tropis dan subtropis, penyebab strongyloidiasis pada manusia dan hewan peliharaan. Disebut juga strongyloides intestinalis. Dulu disebut juga anguillula intestinalis atau anguillula stercoralis.
a)        Hospes dan Distribusi
Manusia merupakan hospes utama cacing ini, walaupun sebagian ada yang ditemukan pada hewan. Cacing ini tidak mempunyai hospes perantara.penyakit yang disebabkan dari infeksi cacing ini disebutstrongyloidiasis.
b)       Taksonomi
·           Phylum                    : Nemathelminthes
·           Kelas                       : Nematoda
·           Sub kelas                 : Secernantea
·           Ordo                       : Rhabditida
·           Super famili                        : Rhabditidae
·           Famili                      : Strongyloididae
·           Genus                      : Strongyloides
·           Spesies                    : Strongyloides stercoralis
c)        Morfologi
1)        Bentuk bebas (free living form)
·           Betina :
Ukuran kurang lebih 1 x 0,05 mm,esofagus kurang lebih ¼ panjang tubuh sera pendek dan terbuka,uterus berupa satu goresan yang lurus yang berisi 40-50 telur. Vulva terbuka disebelah ventral dekat dengan pertengahan tubuh.
·           Jantan :
Cacing jantan memiliki panjang ± 1  mm,  dengan  ekor melingkar dengan spikulum,  dan esofagus pendek dengan dua bulbus. Fusiform, ukuran 0,7 x 0,07 mm. Esofagus tertutup,memiliki 2 spikula dan 1 gubernakulum, ujung ekor runcing dan melengkung.
2)        Bentuk parasitik
·           Betina :
Halus dan transparan ,ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼ panjang tubuh. Pada wanita gravid uterus berisi 10-20 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3  posterior panjang tubuh.
·           Jantan :
Menurut kreist (1932) dan faust ada bentuk parasitik jantan paada manusia yang morfologinya sama dengan morfologi jantan benruk bebas (free living). Namun  belum ada peneliti yang menemukan bentuk parasitik jantan ini selain kreist dan faust.
3)        Larva rhabditiform
Ukuran kurang lebih 380 x 20 µ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan ovoid terletak diventral dekat intestinal. Mempunyai ekor kucing.
4)        Larfa filariform
Ukuran kurang lebih 630 x 16 µ, mulut tertutup, esofagus ½  panjang badan, ujung ekor bercabang dua pendek (fork tail)  atau tumpul saja, dan tidak mempunyai sarung.
d)       Daur Hidup
Siklus hidup strongiloides stercoralis cukup kompleks dengan adanya pergantian antara siklus tidak langsung (siklus bebas/indirect cycle) dan siklus langsung (siklus parasitik/ direct cycle), serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi dalam tubuh hospesnua. Siklus hidup cacing ini adalah sebagai berikut:
1)        Siklus langsung (siklus bebas/ indirect cycle)
Sesudah 2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke  paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Larva juga dapat menginfeksi dengan cara tertelan langsung. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.
2)        Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau 21larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropic dengan iklim lembab.
3)        Autoinfeksi
·           Autoinfeksi internal :
Terjadi terutama pada hospes yang mengalami gangguan obstipasi. Pada autoinfeksi internal, larva rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi larva filariform. Larva ini menembus mukosa usus, masuk kepembuluh darah kapiler kemudian kejantung lalu keparu dan seterusnya melanjutkan siklus hidup.
·           Autoinfeksi eksternal :
Daerah perianal hospes terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes defekasi , lalu larva ini tumbuh menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus kulit perianal dan masuk kedalam pembuluh darah kapiler.
e)        Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang,sangat menguntungkan cacing strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung . tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur,berpasir,dan humus. Frekuensi di jakarta pada  tahun 1956 sekitar 10-15% sekarang jarang dirtemukan. Pencegahan strongyloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tin ja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
Distribusinya luas diseluruh duni terutama di daerah beriklim tropis dengan sub tropis dan dapat juga ditemukan beriklikm sedang. Pada umumnya distribusi terbatas di daerah cuaca berhangat dan lembap karena merupakan situasi yang cocok untuk perkembangan hidup larva S.Stercoralis.namun oleh karena gejalanya yang sering subklinis dan masa hidupnya yang cukup lama ( Interval lima tahun, bahkan pernah dijumpai satu kasus cacing ini dapat parasitik pada manusia selama enam puluh lima tahun) maka seseorang dapat terinfeksi di daerah beriklim hangat lalu berpindah tempat ke daerah beriklim dingin dan menjadi carier infeksi S.Stercoralis bahkan tanpa menyadarinya.infeksi lebih sering dijumpai di area pedesaan.oleh karena kontak petani dengan tanah serta pada kelompok-kelompok masyarakt sosial ekonomi rendah.
f)         Gejala dan Patologi
Pada orang normal gejala biasa sangat ringan atau tidak ada sama sekali. Infeksi berat (disseminated infection) dapat terjadi pada penderita dengan diabetes melitus, kurang gizi atau pada pasien dengan keadaan imunosupresi. Pada penderita yang mendapat terapi dengan kortikosteroid, obat imunosupresi atau yang menderita leukemia,limfoma,infeksi menahun, luka bakar dan gizi salah, bisa didapatkan sindrom hiperinfeksi strongylodiasis yang ditandai dengan masuknya larva filariform yang menimbulkan lesi di paru, kolon, hati dan alat lain. Gejala klinik terutama mengenai tiga organ tubuh yaitu kulit, paru, dan usus.
1)        Kulit
Pada waktu larva menembus kulit terjadi reaksi ringan, dengan gejala pruritus dan eritema bila larva yang menembus kulit itu jumlahnya besar. Bila infeksi terjadi berulang kali, penderita dapat membentuk reaksi alergi yang dapat mencegah parasit tersebut melengkapi daur hidupnya.  Pergerakan larvanya dihambat, hingga migrasinya hanya terbatas pada kulit saja dan disebut larva migrans. Istilah larva currens (racing larva) dipakai untuk kasus strongyloidiasis dengan satu atau lebih alur urtikaria yang progresif dan dimulai pada daerah perianal.
2)        Paru
Migrasi larva ke paru dapat merangsang timbulnya gejala, tergantung dari banyaknya larva yang ada dan intensitas respon imun hospesnya. Ada yang asimtomatik, adapula yang disertai dengan pneumonia. Pada infeksi berat atau pada sindrom hiperinfeksi, dapat disertai batuk-batuk, napas pendek, sakit di dada, disertai bunyi pernafasan asthmatic whizzing (mengi) sampai berakibat fatal. Larva filariform dapat ditemukan di dalam sputum pada umumnya gambaran radiologi thorax adalah infiltrate bilateral atau fokal interstitial. Kadang-kadang ditemukan hemoragi alveolar. Terjadi hiperemi mukosa bronkus, trakea dan larings. Pada biopsy paru tampak larva disertai tanda-tanda peradangan.
3)        Usus
Gejala-gejala sakit perut, muntah dan diare ditemukan pada penderita-penderita bilamana terdapat banyak cacing dewasa dan larva di dalam mukosa usus. Terjadilah kerusakan mukosa  usus yang hebat sehingga gambaran jaringannya berubah menjadi honeycomb feature. Biasanya kerusakan terjadi pada bagian proksimal usus halus akan tetapi kadang-kadang kerusakan ditemukan pada gaster. Gambaran radiologi mneyerupai penyakit Crohn.
Walaupun dikatakan infeksi menahun disebabkan oleh sindrom malabsorbsi, tetapi Gracia dkk menemukan bahwa malabsorbsi hanya terjadi pada kasus yang disertai dengan protein malnutrisi berat, keadaan ini dapat diperbaiki dengan mengatasi protein malnutrisi tanpa mengobati infeksi cacing tersebut. Pada infeksi menahun cacing dewasa dapat menginvasi lambung dan menimbulkan gastritis, mungkin disertai ulserasi hepatitis granulomatosa  yang disebabkan oleh karena infeksi.
Gambaran darah pada permulaan gejala usus menunjukkan adanya leukositosis dengan eusinofili sampai 50 – 70 % pada beberapa kasus. Akan tetapi karakteristik infeksi menahun adalah terjadinya penurunan jumlah eusinofil. Strongyloidiasis dapat menetap sampai beberapa tahun. Beberapa diantaranya berlangsung sampai lebih dari 30 tahun sebagai akibat kemampuan larvanya untuk menimbulkan autoinfeksi.
Selain strongyloidiasis usus halus, dalam waktu yang sama dapat juga terjadi invasi dinding usus besar. Seseorang pernah menderita strongyloidiasis usus menahun selama 5 tahun, biasanya tanpa gejala hanya kadang-kadang disertai dengan ucerative invasive colitis. Gejala ucerative invasive colitis ini timbul dan hanya berlangsung 1 bulan sebelum pemberian terapi kortikosteroid kemudian penderita meninggal pada bulan berikutnya karena hiperinfeksi.
4)        Hiperinfeksi
Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme terjadinya strongyloidiasis pada manusia dalam jangka panjang dan menetap bertahun-tahun setelah seseorang meninggalkan daerah endemik. Mekanisme kekebalan hospes dan mekanisme reproduksi parasit berada dalam keadaan seimbang sehingga tidak terjadi kerusakan berarti. Bila oleh karena suatu hal terjadi kerusakan pada kekebalan seluler, maka keseimbangan terganggu dan terjadi infeksi yang bertambah hebat sejalan dengan dihasilkannya larva dalam, jumlah yang sangat banyak, yang mengadakan penetrasi ke seluruh jaringan tubuh. Kedaaan malnutrisi, lepra lepromatosa, kanker, luka bakar dalam stadium berat, radiasi sirosis dan kerusakan kekebalan seluler seperti hipogamaglobulinemia dapat menyebabkan hiperinfeksi dan resisten terhadap pengobatan spesifik. Akhir-akhir ini karena kebiasaan penggunaan obat-obat adrenokortikosteroid dan immunosupresi lain, hiperinfeksi lebih sering terlihat dan menjadi suatu peringatan penting dalam pengobatan. Selanjutnya HIV/AIDS adalah penyakit yang dapat disertai strongyloidiasis invasi.
Walaupun ada gangguan pada rekasi jaringan, termasuk mengurangnya pembentukan granuloma,  kerusakan yang disebabkan oleh sejumlah cacing yang berlebihan menyebabkan ulserasi dan nekrosis usus kecil dan usus besar, ileus paralitik dan bahkan perforasi. Migrasi ke dalam paru menyebabkan pneumonitis disertai dispnea, sianosis dan batuk.Kegagalan pernapasan yang menyerupai keadaan oedem paru sering dijumpai.Infiltrasi noduler sering terlihat pada foto rontgen thorax.Dapat disertai hemoptisis.Terkenanya susuna saraf pusat dapat menimbulkan retargi yang progresif,  koma, dan kematian. Meningitis, infark dan abses pada otak yang berhubungan dengan strongylidiasis diseminata pernah dilaporkan .
Umumnya pada strongylodiasis menahun dan larva currens prognosis. Pada kasus hiperinfeksi massiv prognosis sangat buruk. Menghilangnya eosinofil secara umum menunjukkan tanda memburuknya prognosis.
g)        Diagnosis
Diagnosis klinis tidak pasti karena strongyloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata.Diagnosis pasti adalah dengan menemukan cacing dewasa, larva dan atau telur dalam tinja, cairan asprasi duodenum dan atau sputum.Strongyloidiasis usus dapat diduga dari adanya diare yang terus-menerus disertai lendir, sakit dibagian atas perut dan adanya eusinofilia yang tinggi. Pemeriksaan tinja lebih berhasil bila dilakukan dengan cara konsentrasi Bayermann dan formalin – ethyl asetat. Sepertinya teknik Harada – Mori dengan kertas filter lebih baik hasilnya untuk cacing tambang.
Cara lebih baru untuk berdiagnosis infeksi strongyloides dengan metode biakan tinja dengan mempergunakan lempeng agar. Kurang lebih 3 gram tinja diletakkan pada permukaan lempeng agar yang biasanya digunakan untuk biakan bakteri dan diinkubasi selama 2  sampai 3 hari pada suhu 28°C. setelah masa inkubasi permukaan lempeng agar diperiksa dengan mikroskop. Dinyatakan positif larva strongyloides bila terlihat garis berkelok-kelok, tanda pertumbuhan bakteri sepanjang jejak larva yang bergerak.Cara ini sangat efektif karena lebih dari 96% kasus yang positif dapat didiagnosis dengan metode ini.
Tes immunodiagnostic untuk strongyloidiasis dipertimbangkan bilamana diagnosis infeksi tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan tinja berulang-ulang atau dengan pemeriksaan cairan aspirasi duodenum. Beberapa tes immunodiagnosis telah dibandingkan yaitu suatu homemade enzyme – limited immunosorbent assai (ELISA) (Academic Medical Center ELISA [AMC – ELISA]) dan suatu esei dipstik untuk mendeteksi zat anti strongyloides stercoralis di dalam serum yang kemudian dibandingkan dengan 2 tes yang didapatkan di pasaran yaitu ELISAs (IVD – ELISA [IVD research, Inc] dan Bordier – ELISA [Bordier Affinity Product SA]) yang digunakan untuk serodiagnosis strongyloidiasis.  Kedua jenis ELISA yang didaptkan di pasaran sebelumnya belum dievaluasi.Disini sensitifitas esei dinilai dengan menggunakan serum 90 pasien yang telah terbukti menderita strongyloidiasis intestinal dan serum 9 pasien dengan clinical larva currens. Sensitifitas AMC – ELISA , dipstick assai, IVD – ELISA dan bordier ELISA berturut-turut 93, 91, 89, dan 83 % untuk strongylodiasis intestinal sedangkan 8 diantara 9 serum dari penderita larva currens adalah positif. Spesifisitas dievaluasi dengan menggunaan 220 spesimen serum yang berasal dari penderita berbagai macam infeksi seperti infeksi parasitic, bakteri, virus, dan jamur.Selanjutnya juga sampel serum yang mengandung antibody autoimun, dan serum dari donor darah yang sehat. Spesifisitas AMC – ELISA, dipstick assay, IVD – ELISA, dan Bordier – ELISA adalah berturut-turut 95,0  97,7 , 97,2 , dan 97, 2 %. Ternyata keempat esei merupakan tes sensitif dan spesifik untuk diagnosis strongylodilasis intestinal maupun kutan.
Tes radioallertgosorbant  (RAST) disimpulkan bahwa sebagian besar penderita memproduksi antibody IgE terhadap antigen larva filariform. Penemuan ini dianggap sebagai pelengkap evaluasi immunologi pada pasien strongylodiasis.
h)       Pengobatan
Karena S.Stercoralis sangat potensial menimbulkan gejala menahun atau autoinfeksi selama beberapa tahun atau autoinfeksi selama beberapa tahun dan sindrom hiperinfeksi, maka semua penderita yang terinfeksi harus diberikan Ivermektin 0,2 kg/BB selam 1-2 hari dengan interval dua minggu. Ivermektin merupakan antihelmintik yang mengikat diri kepada jalur ion sel saraf dan otot invertebrata.
Pada pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif. Pengobatan perlu diperpanjang dan kadang-kadang tidak berhasil untuk itu perlu diberikan dua kombinasi macam obat yaitu antihelmintik seperti invermektin dan albendazol,disertai antibiotik. Untuk hiperinveksi dapat diberikan invermektin ( 200 mg/kg BB ) sekali seminggu selama empat minggu. Pengobatan untuk hiperinveksi lebih baik dilakukan di ruang gawat intensif karena pasien lebih mudah di pantau mengenai perubahan status fisisologi dan laboratorium. Dahulu pengobatan spesifik dengan thiabendazole harus diberikan minimum lima hari. Walaupun ada beberapa obat lain yang pernah di berikan dalam penelitian seperti mabendazole akan tetapi sampai saat ini obat tersebut tidak di anjurkan untuk pengobatan strongyloidasis. Hasil pengobatan perlu di pantau dengan melakukan berkali-kali pemeriksaan tinja.
Efek samping invermektin anoreksia,nausea,diare,gatal,dan ngantuk sedangkan Albendazol nausea dan diare. Pada umumnya efek samping adalah sementara dan dapat di atasi angka penyembuhan tergantung dari pada beratnya kasus, dosis dan lama pengobatan sedangkan kadang-kadang diperlukan lebih dari antihelmintik.Tehnik pemeriksaan untuk keperluan diagnostik juga mempengaruhi tingginya angka penyuluhan. Enzim imunoaxxay ( EIA ) yang telah dikembangkan oleh CDC,dapat digunakan sebagai markers keberhasilan pengobatan terhadap strongyloidasis. Angka serologi dan jumlah eosinofilik berkurang setelah sekelompok penderita strongyloidasis diberi terapi.
i)          Prognosis
Infeksi berat pada strongyloidiasis dapat menyebabkan kematian.

5.         Enterobius vermicularis
a)        Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah satu-satunya hospes. Penyakit yang disebabkan oleh Enterobius vermicularis disebut enterobiasis, oksiuriasis, infeksi cacing kremi.
b)       Taksonomi
·           Kingdom                 : Animalia
·           Phylum                    : Nematoda
·           Class                       : Cecernentea
·           Subclass                  : Rhabditia
·           Ordo                       : Rhabditia
·           Subordo                  : Rhabditina
·           Superfamili             : Oxyuroidea
·           Famili                      : Oxyuridae
·           Genus                      : Oxyuris atau Enterobius
·           Spesies                    : Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis
c)        Epidemiologi
Enterobius vermicularis banyak terjadi di seluruh dunia dan penyebarannya kosmopolit.Kasus yang disebabkan oleh E. vermicularis ini lebih banyak ditemukan pada daerah dingin dibandingkan pada daerah panas.Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang yang berdomisili di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Selain itu, penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya misalnya penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, panti asuhan, serta kelompok institusional lainnya) dan antar manusia dengan lingkungannya misalnya di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian, dan tilam. Infeksi parasit ini sering terjadi pada anak-anak pada usia 5-9 tahun sebab telur cacing dapat diisolasi dari debu dirungan sekolah atau kafetaria sekolah dan juga dewasa diantara usia 30 tahun dan 40 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3%-80%. Penelitian di Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
d)       Morfologi dan Daur Hidup
Enterobius vermicularis dewasa merupakan cacing kecil berwarna keputih-putihan dan halus.Pada ujung anterior terdapat pelebaran menyerupai sayap yang disebut alae cephalic.Mulutnya dikelilingi oleh tiga buah bibir yakni sebuah bibir dorsal dan dua buah bibir lateroventral. E. vermicularis betina mempunyai ukuran panjang 8-13 mm dengan diameter 0,3-0,5 mm dan pada bagian posterior panjangnya kurang lebih 1/5 dari panjang tubuh, tampak ujungnya runcing seperti duri yang terdiri atas jaringan hialin. Kutikulanya tipis dan pada ujung anterior terdapat pelebaran kutikula yang bentuknya seperti sayap yang disebut alae.Ketika di lihat bawah mikroskop nampak terlihat otot esophagus dengan bulbus terminal yang besar.E. vermicularis betina ini mempunyai ekor panjang dan runcing.Vulva terletak pada 1/3 bagian anterior tubuh.Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur kecuali pada bagian ekor.Alat genital berpasangan (duplex) seta anus terletak pada 1/3 posterior tubuh. Enterobius vermicularis jantan mempunyai ukuran panjang 2-5 mm dengan diameter 0,1-0,2 mm, mempunyai sayap, ekor tumpul, melingkar sehingga berbentuk seperti tanda tanya, dan memiliki spikulum pada ekor meskipun jarang ditemukan. Habitat E. vermicularis dewasa biasanya di usus terutama dibagian sekum dan daerah sekitarnya yaitu appendix, colon ascendens, dan ileum.
Enterobius vermicularis betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur dan setiap telur mempunyai ukuran kira-kira 50-60 µm x 20-30 µm, bermigrasi ke daerah perianal jika sedang hamil atau bertelur. Karena suhu di luar lebih rendah, E. vermicularis bertelur dan mengeluarkan telurnya secara berkelompok di daerah perianal dan perinium dengan cara kontraksi uterus vaginanya. Telur ini dapat melekat di kulit dan objek lain. Telur jarang dikeluarkan di usus,dan tersembunyi dalam lipatan perianal sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dengan kulit yang tipis dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik).Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang dan didalamnya berisi embrio yang terlipat. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin.Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.
Kopulasi E. vermicularis jantan dan betina mungkin terjadi di sekum.E. vermicularis jantan mati setelah kopulasi sedangkan E. vermicularis betina mati setelah bertelur.
Infeksi E. vermicularis terjadi bila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi ke usus besar.Jika yang tertelan adalah telur yang matang, maka telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejunum dan bagian atas ileum.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai telur dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal berlangsung sekitar 2 minggu sampai 2 bulan.Akan tetapi mungkin daurnya hanya berlangsung 1 bulan kembali pada anus paling cepat 5 minggu setelah pengobatan. E. verrmicularis berumur pendek, maksimum 2,5 bulan.
e)        Cara Penularan
Anjing dan kucing bukan mengandung Enterobiasis vermicularis tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Adapun penularan penyakit enterobiasis dapat dipengaruhi oleh:
1)        Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi;
2)        Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan;
3)        Retroinfeksi melalui anus, yaitu larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke anus sehingga akan terjadi infeksi baru;
4)        Patologi dan Gejala Klinis.
Enterobius vermicularis relative tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.Gejala klinis yang sering terjadi kebanyakan bersumber dari iritasi pada daerah sekitar anus, perineum, dan vagina oleh karena akibat migrasi cacing betina yang gravid sehingga menyebabkan pruritus lokal yang membuat penderita menggaruk daerah sekitar anus akibatnya timbul luka garuk di sekitar anus.Keadaan   sseperti ini sering kali terjadi pada waktu malam hari sehingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.Pada penderita anak-anak biasanya ketika pada waktu malam hari, anak tersebut tidurnya menjadi terganggu, cengeng, dan menangis.Namun jika E. vermicularis masuk ke dalam urethra, ke vesica urinaria maka anak sering ngompol.
Kadang-kadang E. vermicularis dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal hingga ke lambung, esophagus maupun hidung akibatnya terjadi gangguan pada daerah tersebut.Pada wanita, E. vermicularis betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tuba Fallopii sehingga dapat menyebabkan salphyngitis pada saluran telur.E. vermicularis sering ditemukan pada daerah appendix, tetapi jarang menyebabkan appendisitis.
Adapun beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis antara lain berkurangnya nafsu makan, berat badan menurun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, dan insomnia.
f)         Diagnosis
Diagnosis pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi E. vermicularis pada anak dapat diduga oleh karena rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari.Pemeriksaan feses pada kasus ini kurang baik hasilnya dikarenakan hasil positif kurang lebih 5% dari yang seharusnya.Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa.Diagnosis yang paling baik adalah dengan menggunakan metode Sctotch adhesive tape swab menurut Graham.Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus dan pemeriksaan ini dilakukan paling efektif pada waktu pagi hari sebelum mandi dan defekasi.
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scotch adhesive tape. Scotch tape atau sellophan tape yang transparan ditempelkan di daerah perianal, lalu diangkat maka telur cacing akan menempel pada perekatnya kemudian tempelkan scotch tape yang sudah tertempel telur cacing pada object glass yang telah ditetesi oleh toluol atau larutan iodium dalam xylol untuk pemeriksaan secara mikroskopik. Pemeriksaan perlu dilakukan berulang-ulang dalam beberapa hari berturut-turut.Hal ini disebabkan karena migrasi cacing betina yang hamil tidak teratur.Pada pemeriksaan pertama hanya dapat menemukan kurang lebih 50% dari semua infeksi, pada pemeriksaan yang ketiga kalinya dapat menemukan kurang lebih 90%.Pemeriksaan sampel feses secara rutin memberikan diagnosis positif kurang lebih 5-15%.Seseorang dikatakan bebas dari infeksi E. vermicularis jika pada pemeriksaan yang dilakukan 7 hari berturut-turut hasilnya negatif.
g)        Pencegahan
Pencegahan terutama ditunjukan kepada kebersihan perorangan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti seprei teratur, ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Bila perlu toilet dibersihkan dengan menggunakan desinfektan
h)       Pengobatan dan Prognosis
Pengobatan dianjurkan diberikan kepada seluruh anggota keluarga secara bersamaan bilamana ditemukan salah seorang dari anggota keluarga tersebut mengandung E. vermicularis. Adapun obat-obat yang dapat diberikan untuk pengobatan infeksi  E. vermicularis sebagai berikut :
1)        Piperazine
Zat ini dapat membasmi cacing secara efektif, murah, dan aman, sehingga banyak digunakan.Pada pemakaian obat ini tidak perlu diberikan laksans, sebab piperazine sendiri sudah bersifat laksans lemah.
Jarang menimbulkan efek samping, hanya saja pada pemakaian yang over dosis dapat mengakibatkan gatal-gatal (urtikaria), mengantuk, dan sebagainya. Contoh obat paten yang mengandung piperazine antara lain antepar dan bekacitrin.
Dosis   : untuk dewasa dosis tunggal 3-4gr atau 25mg/kg berat  badan (anak-anak) diminum dengan segelas air pada pagi hari sebelum atau sesudah sarapan pagi sehingga obat sampai di sekum dan diminum selama 2 hari berturut-turut.
2)        Pirvinum
Senyawa ini sangat berkhasiat terhadap oxyuris.Mekanisme kerjanya merintangi pernafasan dan proses-prose penting lainnya dari cacing.Cacing yang telah mati dikeluarkan melalui gerak peristaltik usus.
Dosis : 0,5 mg/kg BB untuk pemberian sirup pirvinum pamoat sebagi dosis tunggal. Pemberian sebaiknya pagi hari sebelum makan pagi.
3)        Pyrantel
Pyrantel ini merupakan derivate pirimidin yang sangat berkhasiat terhadap ascaris, oxyuris, dan cacing tambang.Cacing-cacing yang lumpuh dikeluarkan dengan gerak peristaltik tanpa menggunakan laksans.Pyrantel sangat tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil.Obat ini mempunyai efek samping kadang-kadang pada saluran pencernaan, nyeri kepala, pusing, ruam, demam, mual, muntah. Contoh obat paten yang mengandung pyrantel antara lain combantrin dan pyrantin.
Dosis   : oral sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½-2 tablet menurut usia (10mg/kg) dan kembali diberikan minggu kedua dan keempat.
4)        Benzimidazole
Senyawa ini berfungsi menghambat fungsi mikrotubuli pada manusia dewasa serta menyebabkan deplekasi glikogen.sangatlah efektif. Adapun turunan dari senyawa ini antara lain mebendazole, albendazole, dan thiabendazole.
·           Mebendazole
Senyawa ini merupakan turunan dari benzimidazole.Obat ini baik sekali untuk pengobatan enterobiasis karena efektif terhadap semua stadium perkembangan E. vermicularis. Obat ini mempunyai efek samping berupa kadang-kadang diare, nyeri perut, jarang berupa leukopenia,agranulositosis, hipospermia. Dosis : 100 mg untuk anak > 2 tahun, ulangi sesudah 2 minggu.
·           Albendazole
Senyawa ini merupakan turunan dari benzimidazole.Obat ini bekerja dengan melakukan degenartif sel usus cacing sehingga cacing tak mampu menyerap glukosa dari manusia dan membuat cacing menguras habis simpanan glikogen mereka sebagai pengganti energi.Hal ini membuat cacing lemah dan kemudian mati.Albendazol tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil.Obat ini sangat efektif untuk mengatasi cacing pipih, cacing cambuk dan cacing kremi. Efek samping dari penggunaan obat ini yakni perasaan kurang nyaman pada saluran pencernaan, jarang berupa leukopenia,agranulositosis, hipospermia.
Dosis : 400 mg sehari, diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal untuk dewasa dan anak-anak > 2 tahun. Tablet dapat dikunyah, digerus ataupun dicampur pada makanan.Ulangi dalam 2 minggu.Untuk anak-anak berumur 1-2 tahun diberikan dosis 200 mg sebagai dosis tunggal.
·           Thiabendazole
Obat ini merupakan obat pilihan. Efek samping dari obaat ini yakni sering mual, muntah, vertigo, terkadang mengalami leukopesi, kristaluria, ruam, halusinasi, gangguan olfaktorius,eritema multiforme, sindroma Steven-Jhonson dan jarang syok, tinnitus, kolestasis intrahepatik, konvulsi, edema angioneurotik
Dosis : 25 mg/kg BB (maksimum1,5 gr), harus diberikan sesudah makan, dua kali perhari yang diberikan pada hari ke-1 dan ke-7
Selain dengan cara pengobatan diatas (merdikamentosa), pasien juga diberikan terapi berupa istirahat dan diet.
Prognosis dari penyakit Enterobiasis baik apabila diberikan pengobatan secara periodik dan penderita harus menjaga kebersihan diri serta lingkungan rumahnya.Prognosis menjadi buruk apabila terjadi reinfeksi pada pasien jika tidak diberikan pengobatan secara periodik tetapi tidak mengancam nyawa.

6.         Toxocara spp
Toxocara berasal dari kata toxo yang berarti panah dan cara yang berarti kepala. Dua spesies penting pada genus toxocara adalah toxocara canis (menginfeksi anjing) dan toxocara cati (menginfeksi kucing).Kedua spesies ini dikenal sebagai cacing yang biasanya menginfeksi anjing dan kucing dan menimbulkan visceral larva migrans pada manusia.Penyakit yang ditimbulkan disebut toxocariasis.
Beaver (1972) merupakan orang pertama yang melaporkan infeksi cacing ini pada manusia.Dari survei yang pernah dilakukan, diketahui bahwa 2% penduduk telah terinfeksi cacing ini.
a)        Distribusi Geografik
Toxocariasis merupakan penyakit kosmopolitan pada manusia pemelihara kucing yang juga dapat ditemukan di Indonesia, walaupun demikian banyak kasus yang tidak terdiagnosa. Di Jakarta prevalensi pada kucing yaitu 26%, dan pada anjing 38,3%. Sedangkan di amerika dilaporkan bahwa 2-90% anjing terinfeksi cacing ini.
b)       Morfologi
Telur cacing toxocara canis berukuran 90 x 75 µ serta dinding telurnya berbenjol-benjol kasar. Ketika dewasa, cacing toxocara canis jantan mempunyai panjang 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina mempunyai ukuran 5,7 – 10,0cm.  Telur  cacing toxocara cati berukuran 65 x 75 µ dengan dinding telur berbenjol-benjol halus dan saat dewasa cacing toxocara cati jantan mempunyai panjang 2,5 – 7,8 cm sedangkan yang betina mempunyai panjang 2,5 – 14,0 cm. Bentuknya menyerupai ascaris lumbricoides muda. Pada toxocara cati terdapat sayap cervical yang berbentuk seperti lanset, yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan pada toxocara canis, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra.Bentuk ekor cacing toxocara cati jantan seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing.Walaupun keduanya sangat mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan bentuk telur, cervical alae, dan ekornya.
c)        Siklus Hidup
Pada dasarnya siklus hidup cacing ini sama dengan siklus hidup ascaris lumbricoides. Manusia dapat terinfeksi cacing ini bila memakan makanan yang terkontaminasi telur cacing. Telur infeksius ini akan menetas dalam usus dan larvanya menembus pembuluh darah untuk ikut aliran darah ke seluruh tubuh dan terdampar di organ-organ tubuh. Walaupun pernah diaporkan ditemukannya cacing dewasa pada 3 kasus, namun dipercaya bahwa larva yang menetas di tubuh manusia tidak pernah menjadi dewasa.
Siklus toxocara canis dalam tubuh anjing lebih dikenal daripada siklus hidup toxocara cati dalam tubuh kucing, namun kebanyakan orang menganggap keduanya adalah sama. Pada anjing, siklus dimulai dari tertelannya telur yang berembrio oleh anjing.Telur tersebut menetas diusus anjing dan larvanya melakukan migrasi ke jaringan.Pada anjing betina yang sedang hamil, larva dapat bermigrasi ke hati fetusnya sekitar hari ke 42 setelah infeksi dengan telur yang infeksius.Dalam hati fetus, larva berkembang menjadi larva stadium ketiga.Setelah fetus tadi lahir, larva cacing bermigrasi ke lambungnya melalui paru-paru.Pada hari ke12 larva tadi sampai di usus halus dan mejadi dewasa 3 minggu kemudian.Larva di usus anak anjing dapat pula dikeluarkan bersama feses yang apabila dimakan oleh induknya, larva tadi menjadi dewasa diusus induk anjing untuk kemudian menghasilkan telur dan siklus terulang kembali.Pernah dilaporkan juga bahwa selain penularan transplasenta dari induk anjing ke fetusnya, penularan dapat juga secara transmammary. Kemungkinan lain dari siklus hidup cacing ini adalah :
·      Ditelannya telur yang infeksius oleh anak anjing (berumur kurang dari 3 minggu) yang kemudian  menetas, migrasi melalui trakea dan menjadi dewasa di usus halusnya;
·        Tertelannya telur infeksius oleh anjing yang berumur lebih dari 3 minggu dan larva yang menetas akan berdiam di jaringan tubuhnya;
·     Telur infeksius ditelan oleh tikus kemudian larvanya bermigrasi ke jaringan tubuhnya. Bila tikus ini dimangsa oleh anjing yang berumur lebih dari 3 minggu, maka larva yang ada akan bermigrasi ke usus anjing melalui trakea;
·     Telur infeksius tertelan oleh manusia, larvanya menetas dan bermigrasi ke mata (menimbulkan kebutaan) atau di organ tubuh lain dan menimbulkan eosinofilia.
d)       Patologi dan Gejala Klinis
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan hanya mengembara di organ dalam tubuh.Gejala yang ditimbulkan pada toxocariasis sangat tergantung dimana larva cacing ini berada. Berat ringannya penyakit yang ditimbulkan tergantung pada : a) jumlah telur yang tertelan, b) jumlah larva yang melakukan penetrasi di dinding usus, c) jumlah larva yang melakukan migrasi, d) status imunitas dari host, dan e) letak larva dalam tubuh host. Pada infeksi ringan, hanya ditemukan eosinofilia, sedangkan pada infeksi yang lebih berat dapat pula dijumpai demam, batuk, nausea, dan muntah.Pada anak-anak sering dijumpai anoreksia, sakit sendi dan otot, penurunan berat badan, dan kejang-kejang.Terkadang dapat ditemukan hepatomegali. Gejala-gejala ini biasanya kemungkinan akan hilang setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Secara patologis, gejala yang timbul dapat diterangkan dari reaksi tubuh yang ditimbulkan oleh larva. Larva yang bermigrasi akan terjebak di suatu jaringan dan dapat terbungkus dalam granuloma yang kemudian dihancurkan atau juga dapat tetap hidup selama bertahun-tahun. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Kematian larva akan menstimulasi respon imun immediate-type hypersensitivity yang menimbulkan penyakit visceral larva migrans (VLM), dengan gejala demam, pembesaran hati dan limpa, gejala saluran napas bawah seperti bronkospasme (mirip, hipergammaglobulinemia IgM, IgG, IgE). Kelainan pada otak dapat menyebabkan kejang, gejala neuropsikiatrik, atau encephalopati. Umumnya penderita VLM adalah anak usia dibawah 5 tahun karena mereka banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah (geofagia atau pica) yang terkontaminasi feses kucing. VLM dapat juga disebabkan oleh larva nematoda lain.
Kelainan karena migrasi larva pada retina mata disebut occular larva migrans (OLM) biasanya unilateral dapat berupa penurunan penglihatan yang dapat disertai strabismus pada anak, invasi retina disertai pembentukan granuloma yang dapat menyebabkan terlepasnya retina, endofthalmitis, dan glaucoma hingga kebutaan.Akhir-akhir ini diketahui bahwa banyak kasus mata yang disebabkan oleh visceral larva migrans, namun selalu pada mulanya salah didiagnosa.Pernah dilaporkan bahwa 15% dari penyakit yang semual di diagnosa sebagai retinoblastoma dan setelah di enukleasi ternyata ditemukan larva di dalam bola mata. Sehubungan dengan tingginya kesalahan diagnosa, maka sebagai pedoman penegakan diagnosa adalah kumpulan gejela yang dianggap sebagai tanda cardinal visceral larva migrans yaitu : a) dimilikinya anak anjing atau anak kucing, b) penderita adalah anak-anak atau orang muda, c) hepatomegali, d) pica, dan e) eosinofilia serta meningkatnya titer Ig E.
e)        Diagnosa
Diagnosa pasti VLM dengan menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan namun sukar untuk ditegakkan. Oleh karena itu, dapat dilakukan diagnosis serologi melalui deteksi antibodi IgG terhadap antigen eksretori-sekretori larva toxocara canis disertai eosinofilia (>2000 sel /mm3), atau peningkatan total IgE (>500IU/ml) dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada penderita OLM, imunodiagnosis kurang sensitif walaupun titer IgG yang lebih tinggi ditemukan pada cairan aqueous atau vitreus.
Teknik pencitraan seperti USG, CT scan, dan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi lesi granulomatosa yang berisi larva toxocara.
f)         Pengobatan
Pasien dengan VLM dapat diobati dengan Albendazol 400mg dengan dosis 2 kali perhari selama 5 hari.Reaksi alergi dapat diatasi dengan pemberian kortikosteroid.Pada penderita OLM dilakukan operasi vitrektomi, pengobatan dengan anthelmintik, dan kortikosteroid.
Cacing dewasa yang terdapat pada anjing dan kucing dapat diatasi dengan penggunaan pirantel pamoat, sedangkan larvanya dapat diatasi dengan penggunaan Dietil Carmbamasin (DEC).
g)        Pengendalian
Pengendalian infeksi dapat dilakukan dengan mencegah agar kucing atau anjing peliharaan tidak membuang feses sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak, dan kebun sayuran.Hewan yang telah terinfeksi dapat diobati dengan mebendazol atau ivermectin. Anak kucing atau anak anjing secara rutin diobati mulai usia 2-3 minggu, dan setiap 2minggu hingga berusia 1tahun, sedangkan kucing atau anjing dewasa diobati setiap 6 bulan sekali.
Pada manusia pencegahan dapat dilakukan dengan mengawasi anak yang mempunyai kebiasaan memakan tanah, meningkatkan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang, dan membersihkan dengan baik sayur lalapan.

7.         Trichinella spiralis
Pada tahun 1835 James Pagent, seorang mahasiswa kedokteran, menemukan larva dalam otot seorang italia yang meninggal karena tuberculosis di rumah sakit London. Cacing pemilik larva itu diberi namaTrichina Spiralis oleh Owen, yang kemudian diubah menjadi Trichinella Spiralis. Zenker (1860) menemukan hubungan penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini dengan kebiasaan  memakan sosis daging mentah. Selanjutnya penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini diberi nama, seperti trichinosis atau trichiniasis atau trichinialliasis atau trichinellosis.
Sebetulnua cacing ini merupakan parasit pada hewan pemakan daging, namun manusia dapat mengidapnya setelah memakan daging mentah, khususnya daging babi. Sebagaimana telah dikatakan larva cacing ini sering ditemukan dalam otot manusia, walaupun sebenarnya cacing ini memiliki fase hidup dalam usus juga, tetapi fase ini jarang terdiagnosa.
a)        Distribusi Geografis
Hampir diseluruh duniapernah dilaporkan adanya penyakit yang disebabkan cacing ini. Negara yang terkena penyakit ini umumnya adalah Negara yang secara endemic masyarakatnya memakan daging babi, antara lai Thailand, Kenya, Tanzania, dan Segenal.Ditemukan juga di Iran dan Mesir. Negara – Negara Amerika Selatan, termasuk Mexico dan Chili, dan juga Amerika Serikat masih mempunyai masalah dengan penyakit ini .walaupun data tentang penyakit ini tidak terlalu banyak dipublikasikan di Asia, namun diperkirakan penyakit ini tersebar luas diseluruh Asia.
Dikenal 4 sub spesies yang memegang peranan, yaitu Trichinella spiralisyang terdapat di daerah beriklim sedang dengan babi sebagai reservoir, Trichinella spiralis nativa yang parasitik bagi Carnivora di daerah kutub misalnya beruang kutub dan walrus, Trichinella spiralis pseudospiralis yang parasitik bagi burung pemakan daging.
b)       Distribusi Geografis
Larva yang terdapat dalam daging bila termakan akan keluar dari cysternya di lambung, kemudian larva ini bergerak menuji usus kecil, melakukan penetrasi mukosa usus dan menjadi dewasa dalam satu minggu. Cacing dewasa dapat hidup beberapa minggu dalam tubuh manusia (rata – rata 50 hari).Cacing dewasa jantan dan betina (1-4 mm) hidung dalam lapisan mukosa usus.Di situ mereka melakukan perkawinan sehingga cacing betina melahirkan larvanya (100μm).Jumlah larva yang dihasilkan dapat mencapai 1350-1500 ekor. Larva – larva ini kemudian bergerak ke pembuluh darah, mengikuti aliran darah limfe menuju ke jantung dan paru, akhirnya menembus otot. Dalam serat otot larva ini dikelilingi oleh sel Sertoli otot. Biasanya larva ini menjadi infeksisus setelah berumur 30 hari dalam otot dan siklus hidup akan terulang kembali bila otot yang terinfeksi termakan oleh host. Jadi, sebenarnya pada cacing ini tidak dikenal adanya intermediate host sebab seluruh siklus hidupnya terjadi pada satu host saja. Larva yang tetap tinggal di otot akan membentuk cyste dan dapat hidup sampai 11-12 tahun (dalam otot babi) atau 30 tahun (dalam otot manusia).
c)        Morfologi
Cacing jantan dewasa berukuran1,4 – 1,6mm x 0,06mm , sedangkan yang betina berukuran 3-4mm x 0,6mm. cacing ini memiliki esophagus sepanjang 1/3 sampai ½ panjang badang dan terdiri dari stichocyte untuk membentuk esophagus tipe stichosome.
Cacing jantan tidak memiliki spicule tetapi mempunyai copulatory appendages yang berbentuk lobuler.Cacing betina memiliki uterus di sebelah anterior ovarium yang terkadang Nampak berisi banyak sekali larva yang siap dilahirkan.
d)       Manifestasi Klinis
Masa inkubasi trichinosis diperkirakan antara 10-14  hari setelah memakan daging yang terinfeksi yang bervariasi antara 5-45 hari. Variasi masa inkubasi ini ternyata berhubungan dengan banyaknya larva yang dikonsumsi, sebab gejala dan tanda – tanda penyakit baru Nampak jelas bila terjadi infeksi dengan 10 larva per gram daging.
Tanda utama infeksi dengan cacing ini berupa eosinofilia disertai gejala berupa pembengkakan di daerah wajah dan sekitar mata.Pembengkakan di kelopak mata disebabkan karena larva menembus capillair (kapiler) yang menyebabkan perdarahan dan darah tertimbung di jaringan.Pada infeksi berat dapat dijumpai sakit perut disertai diare atau obstipasi, anoreksia, dan kelemahan. Dari seluruh gajala tadi karakteristik adalah timbulnya demam yang dapat dikatakan tidak pernah terjadi pada infeksi dengan cacing lain. Pada saat larva masuk kedalam otot (biasanya yang disukai oleh larva adalah otot seranlintang) ia akan merusak sarkolema otot sehingga timbul myositis, penderita merasakan nyeri otot hebat yang disertai dengan eosinofilia serta pembengkakan pada kelopak mata. Bilamana larva masuk ke otot jantung terjadilah myokarditis dan bila mengikuti aliran darah menuju otak dan paru terjadilah encephalitis dan bronchopneumonia. Semua gejala ini umumnya mereda  setelah minggu kelima infeksi. Pada infeksi yang sangat berat sering dijumpai gagal jantung yang diakhiri dengan kematian.Namun yang menarik adalah tidak ditemukannyaeosinofilia pada infeksi berat.
Secara histologist pada fase cacing menjadi dewasa, ditemukan adanya pembengkakan dan infiltrasi di daerah usus disamping tanda – tanda radang dan sekresi usus yang berlebihan.Pada fase larva sedang bermigrasi sering dijumpaiinflamasi pembuluh darah sampai hemorrhagi, dan fase larva sudah berada di otot, ditemukan peradangan otot, dan degenerasi sel otot sampai kalsifikasi cyste.
e)        Diagnosis Laboratoris
Diagnoswa trichinosis ditegakkan dengan melakukan biopsy diotot deltoid atau gastrocnemius. Biasanya sebagian specimen difiksasi dan diwarnai untuk melihat adanya larva, dan sebagian lagi diperiksa sebagai preparat segar melalui teknik digesti.
Pemeriksaan serologis dilakukan dengan teknik Bentonite Flocculation (BFT) dan ELISA. Titer BFT yang lebih tinggi atau sama dengan 1 : 5 menunjukkan telah terjadi infeksi baru dengan larva Trichinella Spiralis. Sedangkan tes ELISA baru positif setelah 38 hari terinfeksi  dan akan tetap positif sampai sepuluh tahun setelah infeksi.
f)         Pengobatan
Thiabendazole, Mebendazole dan Pyrantel pamoate merupakan obat yang efektif bagi penderita dalam fase intestinal, tetapi saying fase ini sulit didiagnosa.
g)        Epidemiologi
Infeksi Trichinella spiralis pada manusia sudah sering dilaporkan, bahkan pernah terjadi beberapa kali outbreak di beberapa Negara.Daging babi yang terinfeksi dianggap sebagai sumber penularan utama bagi manusia yang sering mamakan daging mentah atau tidak benar – banar matang.Namun, sekarang bukan daging babi lagi yang merupakan sumber penularan utama melainkan daging binatang buruan. Sampai saat ini dikenal lebih dari 40 spesies carnivora, 20 spesies tikus, 6 spesies insectivora dan 2 spesies ikan paus, walrus, dan burung yang menjadi sumber penularan Trichinella Spiralis. Hewan – hewan inilah yang sekarang dianggap sebagai reservoir utama dan tidak dikenal adanya penularan dari orang ke orang.
Pengawasan penularan terutama dilakukan dengan penyuluhanj kesehatan dan mengubah kebiasaan memakan daging mentah.Pemanasan diatas 65,60C yang merata diseluruh daging dianggap cukup memadai untuk membunuh larva cacing ini.Larva pada daging yang terinfeksi dengan ketebalan 15 cm dapat dibunuh dengan jalan dibekukannya pada suhu -250C selama 10 hari.Untuk daging yang lebih tebal dari 15cm diperlukan waktu pembekuan 20 hari.

  
KESIMPULAN

1.        Nematoda yang hidup sebagai parasit, merupakan jumlah spesies paling banyak. Kebanyakan hidup bebas di air tawar, laut serta ada juga yang hidup di lumpur atau tanah perkebunan. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
2.       Berdasarkan cara penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus yang ditularkan melalui tanah soil transmitted heminths yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektif.
3.        Nematoda usus yang terpenting bagi manusia tediri dari :
·           Ascaris lumbroicoides
·           Cacing tambang
·           Trichuris trichura
·           Strongyloides stercolaris
·           Enterobius vermicularis
·           Toxocara canis dan toxocara cati
·           Trichinela spiralis

PEMERIKSAAN SERUM GLUTAMIC PYRUVIC TRANSAMINASE (SGPT) KIMIA KLINIK

Nama                : Ainan Dwi Lestari NIM                 : PO.71.3.203.17.1.003 Prodi                : D-III Teknologi Laboratoriu...