Mahasiswi Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Poltekkes Kemenkes Makassar

Sabtu, 24 Maret 2018

CONTOH KORUPSI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT


CONTOH KORUPSI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

Nama               : Ainan Dwi Lestari
NIM                : PO.71.3.203.17.1.003
Prodi               : D-III Analis Kesehatan
Mata Kuliah    : Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Dosen              : Drs. H. Muh. Nasir, M.Pd., M.Kes.



 1.        Lingkungan Sekolah
a.         Waktu
Korupsi waktu seringkali kita jumpai terutama di lingkungan sekolah. Mulai dari anak  sekolah yang SD sampai yang jenjang tertinggi sering sekali korupsi waktu tanpa mereka sadari, di antaranya adalah anak-anak yang seharusnya sekolah malah dengan bangganya membolos, padahal setahu orang tua kita, kita berangkat dari rumah untuk mencari ilmu. Kalau kita melihat  orang yang tidak sekolah mereka sangat menderita, pada benak mereka, mereka ingin sekali bersekolah. Oleh karena itu, kita harus bersekolah dengan tidak pernah membolos agar kita tidak malu dengan anak yang tidak sekolah.
b.        Kepercayaan
 Korupsi kepercayaan sekarang sudah tidak asing lagi dikalangan pelajar. Contohnya adalah pada saat ulangan kita dipercaya oleh guru mata pelajaran untuk mengerjakan ulangan itu sendiri, namun pada saat itu soal pada ulangan itu sulit dan kita menyontek pekerjaan teman sebelah kita. Itu merepakan contoh kecil yang seringkali tanpa kita sadari.
c.         Tindakan Tawuran Pelajar
 Tindakan tawuran antar pelajar di indonesia sudah bukan hal yang baru. Sekarang tawuran antar pelajar sering terjadi karena hal yang sepele misalnya karena gengsi antar sekolah atau perkelahian dari salah satu pelajar dari kedua sekolah tersebut.
Sebagai contoh besar yaitu tindakan korupsi yang dilakukan oleh Dra. Marsini, Kepala SMU Negeri Tirtomolo. Sebagai Kepala Sekolah, Marsini  merasa punya kuasa penuh melakukan apa saja. Bulan Juni 2000, Marsini langsung memutuskan memungut uang gedung sebesar Rp. 100.000. Tidak ada orang tua atau wali murid yang melakukan protes. Bagi mereka, uang gedung itu dianggap sudah keputusan sekolah. Apalagi berlaku peraturan berikutnya, bahwa bagi yang tidak sanggup membayar dipersilahkan mencari sekolah lain. Wah, kalau yang dapat sekolah negeri tidak apa-apa. Tapi coba kalau sekolah swasta, makin mahallah biayanya. Untung siswa-siswi mengetahui kejanggalan informasi itu dari orang tua atau wali mereka. Mereka tak bisa menerima kebijakan itu. Mereka lantas melakukan penyelidikan, lalu melapor ke orang tua atau wali murid masing-masing.
“Kami tidak tahu, ternyata uang gedung yang diperkenankan oleh Dinas Pendidikan hanya sebesar Rp. 35.000,-. Kami baru tahu setelah siswa-siswi kelas I dan II melakukan aksi protes atas tindakan Kepala Sekolah pada bulan Januari 2001,” papar Indarto yang seorang putrinya duduk di kelas I SMU Negeri Tirtomolo.
Bagi Indarto, uang Rp. 100.000 itu cukup besar. Penghasilannya sebagai pensiunan hanya  Rp. 350.000 per bulan, ditambah penghasilan isterinya sebagai penjahit yang rata-rata Rp. 150.000 sebulan. Porsi terbesar penghasilan itu digunakan untuk konsumsi dan sumbangan sosial. “Untuk membayar uang gedung itu saya sampai harus ngutang lho”, ujarnya seraya tertawa ringan.
Selaku orang tua murid, Indarto menyesalkan tidak adanya kejelasan informasi dari Dinas Pendidikan. Kalau peraturan tidak diketahui oleh masyarakat luas, tetap saja akan ada upaya untuk menyelewengkannya. Masyarakat juga tak bisa melakukan pengecekan, apalagi mengontrol. Mestinya, kebijakan Depdiknas perihal ketentuan maksimal sumbangan uang gedung diberitahukan kepada orang tua/wali murid, misalnya melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan (BP3). “Sehingga motif-motif dari praktek KKN di sekolah dapat dicegah, syukur-syukur sanggup diberantas”, tandas Indarto. Istilah KKN ini tentu mengacu kepada ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme’ yang menjadi populer dalam aksi-aksi mahasiswa.
Akibat protes para siswa-siswinya, Kepala SMU Negeri Tirtomolo tak bisa mengelak lagi. Dra. Marsini mengaku bahwa pihaknya memang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memperbesar sumbangan uang gedung. Untuk mendamaikan suasana, Februari 2001 diadakan pertemuan orang antara tua/wali murid dengan para guru melalui forum BP3 untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pihak sekolah mengatakan bahwa uang yang sudah dibayar tidak bisa ditarik kembali. Tentu saja orang tua/wali murid kecewa terhadap administrasi sekolah. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya penyelesaiannya disepakati. “Kelebihan sejumlah Rp. 65.000 akan digunakan sebagai kompensasi kelebihan ‘jam mengajar’ para guru, serta memperbaiki kamar mandi sekolah”, jelas Indarto. Penyelesaian itu tentu menguntungkan pihak sekolah, namun sangat merugikan orang tua atau wali murid. Enak di kepala sekolah, tak enak di orang tua murid dan murid-murid. Kekecewaan tetap membekas. Orang tua atau wali murid tidak bisa melupakan bahwa sekolah mengakali mereka dengan menyembunyikan peraturan yang ada. Merasa ingin memberikan sanksi, pihak Dinas Pendidikan Bantul mengambil tindakan. Marsini dimemutasikan ke sekolah lain. Hanya sanksi administrasi biasa dan tidak bikin kapok.
Yang perlu diawasi lagi, tentunya, kemana Marsini pindah. Jangan sampai Ia menggunakan cara yang sama, untuk mengeruk uang orang tua murid. Sudah mutu pendidikan Indonesia tidak maju-maju, guru-gurunya doyan duit. Bagaimana murid mau menurut kepada guru? Bagaimana bisa muncul penghargaan? Gara-gara nila setitik, rusak guru sebelanga. Begitu yang berkecamuk di kepala orang tua dan murid-murid. Tambahan lagi, murid-murid tentu juga terus berpikir, sanksi pungutan liar itu tak seberapa parah. Dan jangan-jangan, ada juga yang berpikir: “Saya nanti akan mencobanya juga deh!” Bukan hanya susu sebelanga yang bakalan rusak, juga Indonesia dan masa depan.
Selain itu, berikut beberapa contoh kasus korupsi di lingkungan sekolah yang sering terjadi :
·           Orangtua menyogok sekolah agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut, padahal nilai seleksi masuk anaknya nggak memadai. Asal tahu aja, saya sering menyaksikan hal ini terjadi, termasuk di sekolah-sekolah swasta yang katanya “favorit”.
·           Guru mengatrol nilai murid agar murid-murid sekolah terkesan berprestasi. Malah sempat santer ‘kan, kasus guru-guru sengaja memberikan jawaban Ujian Nasional kepada para murid, agar murid-murid sekolah tersebut lulus UN semua (dengan nilai yang lumayan)?
·           Kamu diminta bayar iuran sekolah, padahal kamu bersekolah di sekolahan negeri yang bebas SPP, karena sudah dibayar pemerintah.
·           Kamu sering disuruh beli buku wajib oleh sekolah, padahal buku yang lama masih bagus. Lebih mengherankan lagi kalau sekolah kamu juga mendapat buku bantuan dari Dinas Pendidikan.
·           Kenapa, sih, sekolah senang banget beli buku? Karena penerbit selalu menawarkan diskon hingga 40% dari harga normal. Kalau pihak sekolah kamu licik, mereka bisa mengambil sisa diskon tersebut. Misalnya, sebuah sekolah diberikan dana APBN beli buku sebesar 200 juta rupiah, trus sekolah mendapat diskon sebesar 80 juta rupiah dari penerbut buku. Nah, 80 juta rupiahnya ini bisa banget mereka embat!
·           Kamu sering disuruh beli LKS. Modusnya sama seperti di atas. Diskon pembelian LKS dari penerbit rata-rata lebih tinggi, lho, dari diskon pembelian buku. Diskon pembelian LKS abal-abal aja bisa mencapai 65%. Trus, setiap semesterkan siswa pasti dianggap butuh LKS baru. Kalau dalam satu semester anggaran pembelian LKS sekitar 50 juta rupiah, berapa diskon yang bisa dikorup oleh pihak sekolah?.

2.        Lingkungan Masyarkat
Contohnya kita bekerja di kantor. Pihak kantor tempat dimana kita bekerja menjadwalkan masuk jam 09.00 WIB, tapi kita kadang datang jam sembilan lebih. Mungkin korupsi seperti ini tidak terlalu menyebabkan masalah besar, tapi akan membuat mental seseorang jadi mental korupsi. Kalau dibiarkan begitu saja maka akan terbiasa secara sendirinya dan memacu kita untuk melakukan korupsi jenis lainnya, bahkan lebih dari korupsi waktu itu sendiri.
Salah satu contohnya lagi yaitu korupsi yang dilakukan oleh kalangan bawah. Sebut saja supir angkot. Mungkin kita berpikir, korupsi apa sih yang bisa dilakukan oleh supir angkot? Tidak mungkin. Tetapi kita salah. Supir angkot juga berpotensi korupsi. Yaitu mengkorupsikan uang ongkos dari penumpangnya. Misalnya ketika orang luar daerah datang ke suatu daerah yang baru pertama kali diinjaknya. supir angkot sering menyebutkan ongkos yang lebih dari biasanya. Walaupun selisih ongkosnya cuma seribu dua ribu rupiah, bayangkan jika tiap hari perbuatan itu dilakukan terus. Dan penumpang yang di tipu 10 orang per hari. Kalau diakumulasikan, korupsi supir angkot juga terbilang besar. Jadi, jangan pernah menganggap rendah yang namanya korupsi, maupun kecil atau besar tetap saja namanya korupsi.
Contoh lainnya yang sering terjadi yaitu korupsi Dana Anggaran Desa (DAD) yang dilakukan oleh Kepala Desa Bontoloe Abd. Rajab Daeng Rombo bersama anaknya Abd. Wahid kini harus mendekam di Lapas kelas II B Takalar. Abd. Rajab Dg. Rombo bersama anaknya yang berperan sebagai bendahara desa ditahan oleh Kejaksaan Negeri Takalar karena melakukan tindak pidana korupsi Dana Desa sebesar Rp 98.7 juta. Hal tersebut berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan dana desa pada tahun 2015 yang lalu.

3.        Lingkungan Negara
Contoh yang terbesar adalah kasus korupsi e-KTP. Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.
Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung keruigan sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi, beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR. Mereka adalah SugihartoIrmanAndi NarogongMarkus NariAnang Sugiana dan Setya NovantoMiryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi, melainkan sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada puluhan sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka KPK.
Dalam perjalanannya, para pihak berwenang dibuat harus berusaha lebih giat dalam menciptakan keadilan atas tersangka Setya Novanto. Berbagai lika-liku dihadapi, mulai dari ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, dibatalkannya status tersangka Novanto oleh hakim, kecelakaan yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya ia lagi sebagai tersangka. Perkara ini juga diselingi oleh kematian Johannes Marliem di Amerika Serikat yang dianggap sebagai saksi kunci dari tindakan korupsi. Untuk kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya Marliem, KPK pun melakukan kerja sama dengan FBI.
Perkembangan kasus e-KTP yang terjadi di era digital membuat kasus ini mendapatkan sorotan dari para warganet. Dalam beberapa kesempatan para warganet meluapkan ekspresi mereka terkait kasus korupsi e-KTP dengan menciptakan trending topic tertentu di twitter dan membuat meme untuk kemudian diunggah di media sosial. Namun reaksi warganet lebih condong ditujukan pada Setya Novanto ketimbang tersangka yang lain. Tak hanya media nasional, media asing seperti AFP dan ABC juga turut memberitakan perkara ini, terutama terkait keterlibatan Setya Novanto. Kendati perkara proyek e-KTP telah berjalan selama beberapa tahun, kasus ini belum mencapai garis finish. Baru dua orang, yakni Irman dan Sugiharto yang telah divonis hukuman penjara sementara yang lain masih harus menghadapi proses hukum yang berlaku. Oleh karena itu, para pihak berwenang masih harus ekstra kerja keras lagi untuk menutup buku atas perkara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMERIKSAAN SERUM GLUTAMIC PYRUVIC TRANSAMINASE (SGPT) KIMIA KLINIK

Nama                : Ainan Dwi Lestari NIM                 : PO.71.3.203.17.1.003 Prodi                : D-III Teknologi Laboratoriu...