CONTOH KORUPSI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Nama : Ainan Dwi Lestari
NIM :
PO.71.3.203.17.1.003
Prodi :
D-III Analis Kesehatan
Mata Kuliah :
Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Dosen :
Drs. H. Muh. Nasir, M.Pd., M.Kes.
a.
Waktu
Korupsi waktu seringkali
kita jumpai terutama di lingkungan sekolah. Mulai dari anak sekolah yang
SD sampai yang jenjang tertinggi sering sekali korupsi waktu tanpa mereka
sadari, di antaranya adalah anak-anak yang seharusnya sekolah malah dengan
bangganya membolos, padahal setahu orang tua kita, kita berangkat dari rumah
untuk mencari ilmu. Kalau kita melihat orang yang tidak sekolah mereka
sangat menderita, pada benak mereka, mereka ingin sekali bersekolah. Oleh
karena itu, kita harus bersekolah dengan tidak pernah membolos agar kita tidak
malu dengan anak yang tidak sekolah.
b.
Kepercayaan
Korupsi kepercayaan
sekarang sudah tidak asing lagi dikalangan pelajar. Contohnya adalah pada saat
ulangan kita dipercaya oleh guru mata pelajaran untuk mengerjakan ulangan itu
sendiri, namun pada saat itu soal pada ulangan itu sulit dan kita menyontek
pekerjaan teman sebelah kita. Itu merepakan contoh kecil yang seringkali
tanpa kita sadari.
c.
Tindakan Tawuran Pelajar
Tindakan tawuran antar
pelajar di indonesia sudah bukan hal yang baru. Sekarang tawuran antar pelajar
sering terjadi karena hal yang sepele misalnya karena gengsi
antar sekolah atau perkelahian dari salah satu pelajar dari kedua sekolah
tersebut.
Sebagai contoh besar yaitu
tindakan korupsi yang dilakukan oleh Dra. Marsini, Kepala SMU
Negeri Tirtomolo. Sebagai Kepala Sekolah, Marsini merasa punya kuasa
penuh melakukan apa saja. Bulan Juni 2000, Marsini langsung memutuskan memungut
uang gedung sebesar Rp. 100.000. Tidak ada orang tua atau wali murid yang
melakukan protes. Bagi mereka, uang gedung itu dianggap sudah keputusan
sekolah. Apalagi berlaku peraturan berikutnya, bahwa bagi yang tidak sanggup
membayar dipersilahkan mencari sekolah lain. Wah, kalau yang dapat
sekolah negeri tidak apa-apa. Tapi coba kalau sekolah swasta, makin mahallah
biayanya. Untung siswa-siswi mengetahui kejanggalan informasi itu dari orang
tua atau wali mereka. Mereka tak bisa menerima kebijakan itu. Mereka lantas
melakukan penyelidikan, lalu melapor ke orang tua atau wali murid
masing-masing.
“Kami
tidak tahu, ternyata uang gedung yang diperkenankan oleh Dinas Pendidikan hanya
sebesar Rp. 35.000,-. Kami baru tahu setelah siswa-siswi kelas I dan II
melakukan aksi protes atas tindakan Kepala Sekolah pada bulan Januari 2001,”
papar Indarto yang seorang putrinya duduk di kelas I SMU Negeri Tirtomolo.
Bagi
Indarto, uang Rp. 100.000 itu cukup besar. Penghasilannya sebagai pensiunan
hanya Rp. 350.000 per bulan, ditambah penghasilan isterinya sebagai
penjahit yang rata-rata Rp. 150.000 sebulan. Porsi terbesar penghasilan itu
digunakan untuk konsumsi dan sumbangan sosial. “Untuk membayar uang gedung itu
saya sampai harus ngutang lho”, ujarnya seraya tertawa ringan.
Selaku
orang tua murid, Indarto menyesalkan tidak adanya kejelasan informasi dari Dinas
Pendidikan. Kalau peraturan tidak diketahui oleh masyarakat luas, tetap saja
akan ada upaya untuk menyelewengkannya. Masyarakat juga tak bisa melakukan
pengecekan, apalagi mengontrol. Mestinya, kebijakan Depdiknas perihal ketentuan
maksimal sumbangan uang gedung diberitahukan kepada orang tua/wali murid,
misalnya melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan (BP3). “Sehingga
motif-motif dari praktek KKN di sekolah dapat dicegah, syukur-syukur sanggup diberantas”,
tandas Indarto. Istilah KKN ini tentu mengacu kepada ‘Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme’ yang menjadi populer dalam aksi-aksi mahasiswa.
Akibat
protes para siswa-siswinya, Kepala SMU Negeri Tirtomolo tak bisa mengelak lagi.
Dra. Marsini mengaku bahwa pihaknya memang telah melakukan penyalahgunaan
wewenang dengan memperbesar sumbangan uang gedung. Untuk mendamaikan suasana,
Februari 2001 diadakan pertemuan orang antara tua/wali murid dengan para guru
melalui forum BP3 untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pihak sekolah mengatakan
bahwa uang yang sudah dibayar tidak bisa ditarik kembali. Tentu saja orang
tua/wali murid kecewa terhadap administrasi sekolah. Setelah melalui diskusi
yang panjang, akhirnya penyelesaiannya disepakati. “Kelebihan sejumlah Rp.
65.000 akan digunakan sebagai kompensasi kelebihan ‘jam mengajar’ para guru,
serta memperbaiki kamar mandi sekolah”, jelas Indarto. Penyelesaian itu tentu
menguntungkan pihak sekolah, namun sangat merugikan orang tua atau wali murid.
Enak di kepala sekolah, tak enak di orang tua murid dan murid-murid. Kekecewaan
tetap membekas. Orang tua atau wali murid tidak bisa melupakan bahwa sekolah
mengakali mereka dengan menyembunyikan peraturan yang ada. Merasa ingin
memberikan sanksi, pihak Dinas Pendidikan Bantul mengambil tindakan. Marsini
dimemutasikan ke sekolah lain. Hanya sanksi administrasi biasa dan tidak bikin
kapok.
Yang
perlu diawasi lagi, tentunya, kemana Marsini pindah. Jangan sampai Ia
menggunakan cara yang sama, untuk mengeruk uang orang tua murid. Sudah mutu
pendidikan Indonesia tidak maju-maju, guru-gurunya doyan duit. Bagaimana murid
mau menurut kepada guru? Bagaimana bisa muncul penghargaan? Gara-gara nila
setitik, rusak guru sebelanga. Begitu yang berkecamuk di kepala orang tua dan
murid-murid. Tambahan lagi, murid-murid tentu juga terus berpikir, sanksi
pungutan liar itu tak seberapa parah. Dan jangan-jangan, ada juga yang
berpikir: “Saya nanti akan mencobanya juga deh!” Bukan hanya susu sebelanga
yang bakalan rusak, juga Indonesia dan masa depan.
Selain
itu, berikut beberapa contoh kasus korupsi di lingkungan sekolah yang sering
terjadi :
·
Orangtua
menyogok sekolah agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut, padahal nilai
seleksi masuk anaknya nggak memadai. Asal tahu aja, saya sering menyaksikan hal
ini terjadi, termasuk di sekolah-sekolah swasta yang katanya “favorit”.
·
Guru
mengatrol nilai murid agar murid-murid sekolah terkesan berprestasi. Malah
sempat santer ‘kan, kasus guru-guru sengaja memberikan jawaban Ujian Nasional
kepada para murid, agar murid-murid sekolah tersebut lulus UN semua (dengan
nilai yang lumayan)?
·
Kamu
diminta bayar iuran sekolah, padahal kamu bersekolah di sekolahan negeri yang
bebas SPP, karena sudah dibayar pemerintah.
·
Kamu
sering disuruh beli buku wajib oleh sekolah, padahal buku yang lama masih
bagus. Lebih mengherankan lagi kalau sekolah kamu juga mendapat buku bantuan
dari Dinas Pendidikan.
·
Kenapa,
sih, sekolah senang banget beli buku? Karena penerbit selalu menawarkan diskon
hingga 40% dari harga normal. Kalau pihak sekolah kamu licik, mereka bisa
mengambil sisa diskon tersebut. Misalnya, sebuah sekolah diberikan dana APBN
beli buku sebesar 200 juta rupiah, trus sekolah mendapat diskon sebesar 80 juta
rupiah dari penerbut buku. Nah, 80 juta rupiahnya ini bisa banget mereka embat!
·
Kamu sering
disuruh beli LKS. Modusnya sama seperti di atas. Diskon pembelian LKS dari
penerbit rata-rata lebih tinggi, lho, dari diskon pembelian buku. Diskon
pembelian LKS abal-abal aja bisa mencapai 65%. Trus, setiap semesterkan siswa
pasti dianggap butuh LKS baru. Kalau dalam satu semester anggaran pembelian LKS
sekitar 50 juta rupiah, berapa diskon yang bisa dikorup oleh pihak sekolah?.
2.
Lingkungan Masyarkat
Contohnya
kita bekerja di kantor. Pihak kantor tempat dimana kita bekerja menjadwalkan
masuk jam 09.00 WIB, tapi kita kadang datang jam sembilan lebih. Mungkin
korupsi seperti ini tidak terlalu menyebabkan masalah besar, tapi akan membuat
mental seseorang jadi mental korupsi. Kalau dibiarkan begitu saja maka akan
terbiasa secara sendirinya dan memacu kita untuk melakukan korupsi jenis
lainnya, bahkan lebih dari korupsi waktu itu sendiri.
Salah
satu contohnya lagi yaitu korupsi yang dilakukan oleh kalangan bawah. Sebut
saja supir angkot. Mungkin
kita berpikir, korupsi apa sih yang bisa dilakukan oleh supir angkot? Tidak
mungkin. Tetapi kita salah. Supir angkot juga berpotensi korupsi. Yaitu
mengkorupsikan uang ongkos dari penumpangnya. Misalnya ketika orang luar daerah
datang ke suatu daerah yang baru pertama kali diinjaknya. supir angkot sering
menyebutkan ongkos yang lebih dari biasanya. Walaupun selisih ongkosnya cuma
seribu dua ribu rupiah, bayangkan jika tiap hari perbuatan itu dilakukan terus.
Dan penumpang yang di tipu 10 orang per hari. Kalau diakumulasikan, korupsi
supir angkot juga terbilang besar. Jadi, jangan pernah menganggap rendah yang
namanya korupsi, maupun kecil atau besar tetap saja namanya korupsi.
Contoh
lainnya yang sering terjadi yaitu korupsi Dana Anggaran Desa (DAD) yang
dilakukan oleh Kepala
Desa Bontoloe Abd. Rajab Daeng Rombo bersama anaknya Abd. Wahid kini harus
mendekam di Lapas kelas II B Takalar. Abd. Rajab Dg. Rombo bersama anaknya yang
berperan sebagai bendahara desa ditahan oleh Kejaksaan Negeri Takalar karena melakukan tindak pidana
korupsi Dana Desa sebesar Rp 98.7 juta. Hal tersebut berdasarkan hasil audit dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan dana desa pada tahun 2015
yang lalu.
3.
Lingkungan Negara
Contoh
yang terbesar adalah kasus korupsi e-KTP. Kasus korupsi e-KTP adalah kasus korupsi di Indonesia
terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak
2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP)
yang diminta oleh Gamawan
Fauzi yang saat itu
menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kejanggalan demi kejanggalan yang
terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai
dari Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium
Lintas Peruri bahkan
Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak
itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja
dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun
dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani,
Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini.
Melalui bukti-bukti yang ditemukan dan
keterangan para saksi, KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung
keruigan sebesar Rp 2,314 triliun. Setelah melakukan berbagai penyelidikan
sejak 2012, KPK akhirnya menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi,
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan
Perwakilan DPR. Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus
Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Miryam S. Haryani sebenarnya juga ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK. Namun statusnya adalah bukan sebagai tersangka korupsi,
melainkan sebagai pembuat keterangan palsu saat sidang keempat atas nama
Sugiharto dan Irman dilaksanakan. Penetapan tersangka oleh KPK dalam kasus ini
pertama kali dilakukan pada 22 April 2014 atas nama Sugiharto sementara sidang
perdana atas tersangka pada kasus ini digelar pada 9 Maret 2017. Tercatat ada
puluhan sidang yang berjalan setelah itu untuk para tersangka KPK.
Dalam perjalanannya, para pihak berwenang
dibuat harus berusaha lebih giat dalam menciptakan keadilan atas tersangka
Setya Novanto. Berbagai lika-liku dihadapi, mulai dari ditetapkannya Setya
Novanto sebagai tersangka, sidang praperadilan, dibatalkannya status tersangka
Novanto oleh hakim, kecelakaan yang dialami Novanto bahkan hingga ditetapkannya
ia lagi sebagai tersangka. Perkara ini juga diselingi oleh kematian Johannes Marliem di Amerika
Serikat yang dianggap
sebagai saksi kunci dari tindakan korupsi. Untuk
kepentingan pengembangan kasus atas tewasnya Marliem, KPK pun melakukan kerja
sama dengan FBI.
Perkembangan kasus e-KTP yang terjadi di era
digital membuat kasus ini mendapatkan sorotan dari para warganet. Dalam beberapa kesempatan para warganet
meluapkan ekspresi mereka terkait kasus korupsi e-KTP dengan menciptakan trending topic tertentu di twitter dan membuat meme
untuk kemudian diunggah di media sosial. Namun reaksi warganet lebih condong
ditujukan pada Setya Novanto ketimbang tersangka yang lain. Tak hanya media nasional, media asing seperti
AFP dan ABC juga turut memberitakan perkara ini, terutama terkait keterlibatan
Setya Novanto. Kendati perkara proyek e-KTP telah berjalan selama beberapa
tahun, kasus ini belum mencapai garis finish. Baru dua orang, yakni
Irman dan Sugiharto yang telah divonis hukuman penjara sementara yang lain
masih harus menghadapi proses hukum yang berlaku. Oleh karena itu, para pihak
berwenang masih harus ekstra kerja keras lagi untuk menutup buku atas perkara
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar