NEMATODA INTESTINAL/ NEMATODA USUS
Nama : Ainan Dwi Lestari
NIM : PO713203171003
Prodi/ Jurusan :
D-III Analis Kesehatan
Mata Kuliah : Parasitologi I
Dosen : Novi Utami Dewi,
SKM., M.Kes.
PEMBAHASAN
A.
Nematoda
1.
Nematoda secara Umum
Nematoda yang hidup
sebagai parasit, merupakan jumlah spesies paling banyak. Kebanyakan hidup bebas
di air tawar, laut serta ada juga yang hidup di lumpur atau tanah perkebunan.
Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan
hospes-parasit (host-parasite relationship).
a)
Morfologi dan Daur
Hidup
Besar dan panjang
cacing Nematoda beragam; ada yang panjang beberapa milimeter dan ada pula yang
melebihi satu meter. Cacing ini mempunyai kepala, ekor, dinding dan rongga
badan dan alat-alat lain yang agak lengkap.
Biasanya sistem
pencernaan, ekskresi dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur,
tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembang biak secara partenogenesis.
Cacing dewasa tidak bertambah banyak dalam badan manusia. Seekor cacing betina
dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai 200.000 butir sehari.
Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya
mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki
badan manusia dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang
tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan. Hampir semua nematoda
mempunyai daur hidup yang telah diketahui dengan pasti.
b)
Pembagian Menurut Habitat
Menurut habitat
(tempat tinggal cacing dewasa), nematoda dibagi dua kelompok, yaitu nematoda
usus dan nematoda darah dan jaringan.
2.
Nematoda Usus
Manusia merupakan
hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan cara
penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus yang
ditularkan melalui tanah soil transmitted heminths yaitu
kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan dari bentuk
non-infektif menjadi bentuk infektif.
Di antara nematoda
usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil
transmitted heminths” yang terpenting bagi manusia adalah sebagai berikut :
·
Ascaris lumbricoides
Distribusi georafik : Kosmopolit
·
Necator americanus
Distribusi geografik : Daerah khatulistiwa, daerah pertambangan, perkebunan
·
Ancylostoma duodenale
Distribusi geografik : Daerah khatulistiwa, daerah pertambangan, perkebunan
·
Trichuris trichiura
Distribusi geografik : Kosmopolit (daerah panas dan lembab)
·
Strongyloides
stercoralis
Distribusi geografik : Daerah subtropik dan tropic
·
Trichostrongylus (beberapa jenisnya)
Distribusi geografi : Kosmopolit (terutama daerah subtropik dan tropik)
Kelompok lainnya yaitu nematoda usus yang
tidak membutuhkan tanah dalam siklus hidupnya, yaitu spesies :
·
Enterobius
vermicularis
Distribusi geografik : Kosmopolit (lebih banyak di daerah dingin)
·
Trichinella spiralis
Distribusi geografik :
Kosmopolit (lebih banyak di negara pemakan
sosis dari daging babi
·
Capillaria
philippinensis
Distribusi geografik :
Filipina dan Thailand (terutama penduduk yang
makan ikan mentah)
B.
Nematoda Usus yang
Penting Bagi Manusia
1.
Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a)
Hospes dan Penyakit
Manusia merupakan
satu-satunya yang menjadi hospes dari Ascaris Lumbricoides (cacing
gelang).Penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris Lumbricoides disebut Askariasis.
Taksonomi Ascaris Lumbricoides, yaitu:
·
Phylum : Nematoda
·
Kelas :
Secernentea
·
Ordo : Ascaridida
·
Family :
Ascarididae
·
Genus : Ascaris
·
Spesies : Ascaris
lumbricoides
b)
Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan
kosmopolit. Survei yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi Ascaris Lumbricoides masih cukup
tinggi, yaitu sekitar 60-90%.
c)
Epidemiologi
Di negara Indonesia
prevalensi penyakit askariasis tinggi, terutama terjadi pada anak. Frekuensinya
60-70%. Penyakit askariasis ini terjadi akibat kurangnya pemakaian jamban
keluarga sehingga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman
rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah.Di
negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembapan
tinggi dan suhu 25-30°C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya
telur Ascaris Lumbricoides menjadi bentuk yang infektif.
d)
Morfologi
Morfologi
cacing A. Lumbricoides
|
|
Ukuran cacing dewasa
:
Jantan
Betina
|
Panjang 15-30 cm,
lebar 0,2-0,4 cm
Panjang 20-35 cm,
lebar 0,3-0,6 cm
|
Umur cacing dewasa
|
1 – 2 tahun
|
Lokasi cacing dewasa
|
Usus Halus
|
Ukuran telur
|
Panjang 60-70 µm,
lebar 40-50 µm
|
Jumlah telur/cacing
betina/hari
|
± 200.000 telur
|
e)
Daur Hidup
Telur yang dibuahi
berkembang menjadi bentuk yang infektif dalam waktu kurang lebih 3
minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan oleh manusia, akan menetas dalam
usus halus. Larvanya menembus dinding dari usus halus menuju pembuluh darah
atau saluran limfe, lalu di alirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah
ke paru.
Larva di paru menembud
dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudia
naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring,
sehingga menimbulkan rangsangan terhadap faring. Hal ini menyebabkan penderita
batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam oesophagus
lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing
dewasa.Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan
waktu kurang lebih 2-3 minggu.
f)
Patologi dan Gejala
Klinik
Gejala klinik
oleh A. lumbricoides bergantung pada beberapa hal, antara lain
beratnya infeksi, keadaan penderita, daya tahan dan kerentanan penderita
terhadap infeksi cacing. Gejala klinik pada ascariasis dapat
ditimbulkan oleh cacing dewasa ataupun oleh stadium larva. Cacing dewasa,
tinggal di antara lipatan mukosa usus halus, sehingga dapat menimbulkan iritasi
yang mengakibatkan rasa tidak enak pada perut berupa mual serta sakit perut
yang tidak jelas.Kadang- kadang cacing dewasa dapat terbawa kea rah mulut
karena adanya kontraksi usus (regurgitasi) dan dimuntahkan keluar melalui mulut
atau hidung.Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,
apendiks, kadang-kadang dapat masuk juga ke tuba eustachii ataupun terisap
masuk ke bronkus.
Gangguan karena larva
biasanya terjadi pada saat berada di paru, terutama pada orang yang rentan
terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang
disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks akan tampak infiltrat
yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut Sindrom
Loeffler.
Pada infeksi berat,
terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan
malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar.Efek yang
serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi
usus (ileus).
g)
Diagnosis
Cara menegakkan
diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung.Adanya telur
dalam tinja memastikan diagnosis askariasis.Selain itu diagnosis dapat dibuat
bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah
maupun melalui tinja.
h)
Pengobatan
Pengobatan dapat
dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk perorangan dapat digunakan
beberapa obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis
tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. Jika terjadi infeksi
campuran A. lumbricoides dan T. trichiura.
Sedangkan untuk pengobatan masal dapat dilakukan beberapa cara diantaranya :
·
obat mudah diterima masyarakat,
·
aturan pemakaian sederhana,
·
mempunyai efek samping yang minim,
·
bersifat polivalen, sehingga berkhasiat terhadap beberapa jenis
cacing,
·
harganya murah / terjangkau.
i)
Prognosis
Pada umumnya
askariasis mempunyai prognosis yang baik. Tanpa pengobatan, penyakit dapat
sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan
mencapai 70-99%.
2.
Cacing Tambang
Necator americanus dan Ancylostoma
deudonale merupakan cacing tambang yang paling utama menginfeksi
manusia namun terdapat juga Ancylostoma spp. yang menginfeksi
hewan, kemudian menginfeksi manusia contohnya Ancylostoma caninum(anjing,
kucing), Ancylostoma braziliense (kucing, anjing), Ancylostoma
ceylanicum(anjing, kucing). Berikut penjelasan terperinci tentang
macam-macam cacing yang telah disebutkan di atas :
Necator americanus
a)
Morfologi dan Siklus
Hidup
Habitat, dalam usus
terutama di daerah jejunum, sedangkan pada infeksi berat dapat tersebar sampai
ke kolon dan duodenum. Manusia merupakan hospes definitf tempat cacing ini
tidak membutuhkan tuan rumah perantara.
Cacing dewasa yang
masih hidup berwarna putih abu-abu sampai kemerah-merahan, kedua spesies ini
diatas mempunyai morfologi mirip satu sama lainnya, perbedaan yang khas antara
lain bentuknya terutama pada cacing betina, pada Necator americanus menyerupai
huruf S sedangkan pada Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Bagian yang dapat
dpakai untuk mengidentifikasi kedua cacing tambang diatas antara lain bagian
anterior, terdapat buccal capsule (rongga mulut) sedangkan
pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa kopulasi, suatu membran yang
lebar dan jernih, berfungsi memegang cacing betina pada waktu kopulasi pada
kloaka terdapat dua buah spikula yang dapat pula membedakan spesies cacing
tambang.
Necator
americanus memiliki buccal capsule yang sempit, pada dinding ventral
terdapat sepasang benda pemotong berbentuk bulan sabit (semilunar cutting
plate) sedangkan sepasang lagi kurang nyata terdapat pada dinding dorsal.
Cacing jantan berukuran 7-9 mm x 0,3mm , memiliki bursa kopulasi bulat dengan
dorsal rays dua cabang. Didapat dua spikula yang letaknya berdempetan serta
unjungnya terkait. Cacing betina, memiliki ukuran 9-11mm x 0,4mm , pada ujung
posterior tidak didapatkan spina kaudal, vulva terletak pada bagian anterior
kira-kira pertengahan tubuh.
Bentuk telur Necator
americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale.Jumalah
telur perhari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator
americanus sekitar 9000– 10.000.
Telur keluar bersama
tinja pada tanah yang cukup baik, suhu optimal 23-33oC, dalam 24-48
jam akan menetas, keluar larva rhabiditiform yang berukuran (250-300)x 17m.
Larva ini mulutnya akan terbuka dan aktif memakan sampah organik atau bakteri
pada tanah sekitar tinja. Pada hari kelima, berubah menjadi larva filariform
yang infektif.Larva ini ini tidak makan, mulutny atertutup, esofagus panjang,
ekor tajam, dapta hidup pada tanah yang baik selama dua minggu. Jika larva
menyentuh kulit manusia, biasanya pada sela antara 2 jari kaki atau dorsum
pedis, melalui folikel rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang rusak, larva
secara aktif menembus kulit masuk kedalam kapiler darah, terbawa aliran darah,
kemudian terjadi seperti pasa Ascaris lumbricoides. Waktu yang
diperlukan dalam pengembaraan sampai ke usus halus membutuhkan waktu kira-kira
10hari.Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih 10 tahun.Infeksi peroral
jarang terjadi, tapi larva juga dapat masuk ke dalam badan melalui air minum
atau makanan yang terkontaminasi.
b) Penyebaran
Kosmopolit, terutama
didaerah khatulistiwa pada daerah pertambangan.Tanah yang peling baik untuk
berkembangnya telur dan larva, yaitu tanah pasir, tanah liat atau lumpur yang
tertutup daun, terhindar darisinar matahari langsung dan juga terhindar dari
pengeringan atau basah berlebih.Terdapat diperkebunan kopi, karet serta di
pertambangan-pertambangan.Paling sering menyarang orang dewasa teruama
laki-laki. Di Indonesia lebih sering infeksi oleh Necator americanus daripada
Ancylostoma duodenale.
c)
Patologi dan Klinik
Infeksi cacing tambang
hakikatnya adalah infeksi menahun sehingga sering tidak menimbulkan gejala
akut.Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkanm baik oleh larva
maupun oleh cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk maculopapula dan
eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground
itch atau drew itch. Waktu larva berada dalam jumlah
banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan pneumonitis.
Cacing dewasa melekat
dan melukai mukosa usus, menimbulkan persaan tidak enak di perut, mual , diare.
Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2 – 0,3ml sehari sehingga dapat
menimbulkan anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe defisiensi besi.
Biasanya gejala klinik timbul setelah tempak adanya anemi.Pada infeksi berat,
Hb dapat turun sampai 2gr%, penderita merasa sesak nafas waktu melakukan
kegiatan, lemah dan pusing kepala.Terjadi perubahan pada jantung yang mengalami
hipertrofi, adanya bising katup serta nadi cepat. Keadaan demikian akan dapat
menimbulkan kelemahan jantung. Jika terjadi pada anak dapat menimbulkan
keterbelakangan fisik dan mental.Infek Ancylostoma duodenalelebih
berat dari Necator americanus.
d) Diagnosis
Gejala klinis biasanya
tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis infeksi cacing tambang perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dapat menemukan telur tambang didalam
tinja ataupun menemukan larva cacing tambang dalam biakan atau pada tinja yang
sudah agak lama.
Beratnya infeksi
cacing tambang ditentukan bedasarkan jumlah telur dalam tinja atau jumlah
cacing betina dapat dipakai untuk patokan berdasarkan “Parasitic Disease
Programme, WHO, Geneva, 1981” dalam “The Tenth Regional Training Course
OnSoil-Transmitted Helminthiasis And Integrated Program On Family Planning
Natutrition And Parasite Control Thailand, 1986”
e)
Pengobatan
Tettrachorethylen
merupakan obat pilihan untuk Necator americanus dan cukup
efektif untuk Ancylostoma duodenale.Diberikan dalam dosis tunggal
0,10-0,12mg/kg BB, dengan dosis maksimal 4mg. Mebendazole, dosis dan
cara pengobatan sama dengan pada trichuriasis. Albendazole dan pyrantel
pamoate, dosis dan cara pengobatannya sama dengan penderita ascariasis. Bitoskanat dengan
dosisi tunggal pada orang dewasa 150mg. Befenium hidroksinaftoat, efektif bagi
kedua spesies terutama untuk Ancylostoma duodenale.Diberikan dengan
dosisi 5gr per hari selama tiga hari berturut-turut.
f)
Pencegahan
Sama dengan pencegahan
pada penderita ascariasis dengan tambahan membiasakan diri memakai sepatu
terutama sekali waktu bekerja dkebun atau di pertambangan.
Ancylostoma deudonale
a)
Hospes dan Nama
Penyakit
Hospes parasit ini
adalah manusia, tetapi dapat juga hewan seperti babi, kera, harimau, dan
hamster ; penyakit yang disebabkannya dinamakan ancylostoma seperti nama
genusnya.
b)
Distribusi Georgrafis
Penyebaran cacing ini
di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai,
misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Pernah dilaporkan bahwa lebih
dari 500 juta manusia di seluruh dunia terinfeksi cacing ini, namun daerah yang
paling tingggi prevelensinya adalah daerah tropis yang lembab dengan higiene
sanitasi yang rendah seperti Asia Tenggara. Dilaporkan juga bahwa daerah sub
tropis, daerah yang beriklim sedang dengan kelembaban yang sama seperti daerah
tropis, mislanya di tambang-tambang, memiliki prevelensi yang tinggi
juga. Ancylostoma duodenale juga banyak ditemukan di Afrika
Utara, daerah lembah sungai Nil, India bagian utara juga serta Amerika selatan.Ancylostoma
duodenale yang ditemukan Dubin saat ini disebut juga Old word
hookworm.
c)
Epidemiologi
Ancylostoma
duodenale dan semua spesies hookworm lainnya bersama dengan ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan strongiloides
stercoralisdikelompokkan sebagai cacing yangditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminth), karena cara penularannya dari satu orang ke orang lain melalui
tanah. Secara descritive epidemiologi, soil transmitted helminth biasa
terdapat didaerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang. Secara analytical
epidemiology, dikenal beberapa faktor yang mempengaruhi epidemiologi soil
transmitted helminth. Faktor yang pertama adalah tanah. Dalam hal ini
dikenal tiga jenis tanah, yaitu : pasir atau sand (berdiameter 0, 05 - 2 mm),
lumpur atau slit (berdiameter 0,05 - 0,02 mm), dan tanah liat atau clay (berdiameter
0,02mm - 2 µ). Ketiga jenis tanah ini dibedakan berdasarkan diameter
partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang diperlukan
untuk membuatnya lembab. Sebagai contoh untuk membuat lembab pasir sebesar 50%
dibutuhkan 10 ml air untuk setiap 3 kg, sedangkan untuk melembabkan
tanah liat dibutuhkan 120 ml air per kg tanah liat.
Faktor kedua adalah
curah hujan, karena curah hujan sangat besar kaitannya dengan kelembaban. Pada
saat curah hujan belum lebat ( misalnya pada permulaan musim hujan ), arus air
yang ditimbulkan masih lambat. Arus air yang lambat ini merupakan perangsang
bagi larva hookworm untuk bergerak menentang arus. Bila arus
air meresap ke dalam pasir, maka larva hookworm akan bergerak
ke permukaan tanah dan mempermudah terjadinya infeksi.
Bilamana musim hujan
sudah berlangsung dan hujan turun dengan lebat, maka curah hujan menjadi
sedemikian besar dan akan menyapu seluruh larva di pasir masuk jauh ke dalam
tanah. Kejadian inilah yang menerangkan mengapa dipermulaan musim hujan
penularan hookworm lebih tinggi daripada saat musim hujan.
Faktor berikutnya
adalah suhu udara.Suhu paling tinggi yang masih dapat ditahan oleh larva cacing
adalah 450C. Untuk larva hookworm suhunya adalah 250-300C.Khusus
untuk larva hookworm, diketahui
bahwa larva ini memiliki daya thermotaxis yaitu selalu bergerak ke suhu yang
lebih tinggi, walaupun suhu tersebut 1000C dan dapat membunuhnya.
Sehubungan dengan
faktor curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa kedua faktor tadi
berkolerasi erat dengan periode transmisi penyakit cacing tambang.Transmisi
yang terbaik terjadi pada musim penghujan dengan suhu udara tinggi. Faktor lain
yang mempengaruhi epidemiology soil transmitted helminth adalah
kadar oksigen, angin, sinar matahari, dan vegetasi.
d)
Morfologi dan Daur
Hidup
Telur ancylostoma
duodenale sebenarnya sulit dibedakan dengan telur hookworm yang
lain. Oleh karena itu apabila ditemukan dalam tinja tidak pernah dikatakan
sebagai telur Ancylostoma duodenale, tetapi disebutkan sebagai
telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur yang seirng ditemukan adalah
telur muda dengan 4-8 sel morula ( unsegmented egg ) atau
telur yang telah mengandung embrio. Telur ini berukuran 55-75 x 35 x 42
m, berbentuk oval sampai elips.Dinding telur tipis terdiri dari satu lapis.Karena
tidak mungkin mengidektifikasikan spesies cacing berdasarkan telurnya, maka
biasanya orang mngkultur telur sampai menjadi larva.Dari bentuk larva ini dapat
didentifikasi spesies cacingnya.
Larva fase pertama
dari cacing ini berukuran 0,2 mm. Di bagian anterior tubuhnya terlihat
adanya buccal capsule yang melanjutkan dirinya menjadi
esofagus bertipe rhabditiform. Nampak pula adanya genital premordial yang
nantinya menjadi alat kelamin jantan atau betina.
Fase kedua berukuran
0,4 mm dan nampak buccal capsule-nya mulai memanjang, tetapi
esofagusnya masih bertipe rhabditiform. Oleh karena itu larva fase pertama dan
kedua dinamakan larva rhabditiform.Genital premordial masih nampak pada fase ini.Yang
membedakan larva fase pertama dan kedua adalah ditemukannya granula berwarna
gelap sebagai timbunan makanan di tubuh larva fase kedua, sebab pada fase ini
larva mulai menimbun makanan.
Larva fase ketiga atau
larva filariform mempunyai buccal capsule dan esofagus bertipe
filariform, genital premordialnya tidak dapat ditemukan lagi. Larva filariform
disebut juga restinglarva, sebab larva ini tidak makan (mulutnya
tertutup) dan ia memperoleh makanan dari granula yang tertimbun pada masa
menjadi larva fase kedua, sehingga pada akhir fase ini tubuhnya tampak bersih.
Secara umum
karakteristik berikut dapat digunakan untuk mengidentifikasi larva ancylosotoma
duodenale, yaitu : Bagian anterior tubuhnya berbentuk datar (flat),
bentuk buccal capsule-nya tidak teratur dan tipis, bagian posterior
esofagusnya lebih lebar daripada bagian anterior ususnya, nampak ada bangunan
yang membatasi bagian posterior esofagus dan bagian anterior usus, bagian
posterior tubuhnya tumpul, sheath ( selubung )-nya rata dan
tidak tampak bergaris-garis ( striae ), genital premordialnya
terletak di sebelah posterior dari pertengahan tubuhnya.
Cacing dewasa jantan
maupun betina pada bagian anterior tubuhnya memiliki 2 pasang gigi yang
dipergunakan untuk melukai host. Cacing dewasa jantan berukuran 8 - 11 mm
sedangkan yang betina berukuran 10 - 13 mm. Selain ukurannya, cacing dewasa
jantan dan betina dibedakan berdasarkan ada tidaknya bursa pada bagian
posterior tubuhnya. Cacing betina dewasa tidak memiliki bursa, tetapi memiliki
sepasang ovarium yang bermuara di vulva yang terletak di bagian anterior
tubuhnya. Bursa dan rays pada cacing jantan dewasa dilengkapi dengan sepasang
spicule yang berbentuk seperti rambut. Dorsal rays pada cacing ini memiliki
tiga buah percabangan ( tripartite ).
e)
Manifestasi Klinis
Sejak larva filariform
menembus kulit, cacing ini telah menimbulkan gejala berupa perasaan
gatal, erythema, dan vesikulasi.Sebagai manifestasi dari hipersensitivitas
tubuh terhadap larva yang masuk.Timbulah eosinofilia dan hiperemia bahkan
smapai terjadi edema. Keadaan ini akan berlangsung kurang lebuh selama 2
minggu.
Pada saat larva
bermigrasi menuju paru, timbulah gangguan batuk ringan atau bahkan asimtomatis,
tetapi pada sata ini, eosinofilia terjadi pada jlebih dari 70% penderita.
Setelah cacing menjadi
dewasa di usus timbulah gejala lain. Namun gejala yang timbul sangat
tergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi, lamanya infeksi,
daya tahan tubuh, dan status nutrisi penderita. Gejala yang timbul dapat berupa
dispepsia, nausea, dan perasaan tidak enak di daerah epigastrium.Pada tahap
selanjutnya dapat terjadi konstipasi atau diare dan mikrositik hipokromik
anemia. Bila telah tejadi anemia, tidak jarang dijumpai penderita menjadi
geophagi ( pica ). Hal ini dapat dimengerti mengingat seekor cacing menghisap
0,03 – 0,15 ml darah perhari. Pada pemeriksaan patologi anatomi dijumpai
hemorrhagi, inflamasi, atau uleus di mukosa usus.
Pada infeksi kronis,
penderita menjadi malnutrisi, hipoproteinomia dan anemia yang berat yang mengakibatkan
cardiomegali.Infeksi kronis pada anak-anak tidak jarang menimbulkan gangguan
pertumbuhan dan kemunduran mental.
f)
Pencegahan
Maka cara pencegahan cacing tambang adalah :
·
Pencegahan terjadinya kontaminasi tanah dengan tinja misalnya
dengan pembunatan jamban yang memenuhi syarat kesehatan;
·
Perlunya penekanan tentang bahaya penggunaan tinja sebagai
pupuk;
·
Penyuluhan kesehatan bagi masyarakat;
·
Melakukan survei prevalensi kecacingan terutama didaerah yang
endemis termasuk survei tanah yang terkontaminasi.
g)
Pengobatan
Obat pilihan untuk
ancylostomiasis adalah Mebendazole, namun dapat juga digunakan Albendazole,
Flebendazole ataupun Alcopara ( Bephinium ). Berhubung kebanyakan penderita
ancylostomiasis mengalami anemia, maka pengobatan dengan preparat besi sangat
dianjurkan. Biasanya bila kadar Hb sangat rendah lebih baik mengobati anemianya
dahulu sebelum memberikan obat cacing. Disamping itu bila terjadi infeksi
campuran dengan cacing Ascaris lumbricoides, sebaiknyha cacing ini
dimusnahkan terlebih dahulu sebelum mengobati ancylostomiasis, sebab bila
tidak Ascaris lumbricoidesakan sangat teriritasi dan menimbulkan
migrasi abnormal.
3.
Trichuris trichiura
Trichuris trichiura, Biasa disebut trichocephalus dispar atau
lebih dikenal dengan nama cacing cambuk, karena secara menyeluruh bentuknya
seperti cambuk. Hingga saat ini lebih dikenal lebih dari 20 spesies trichuris
spp, tetapi yang menginfeksi manusia hanya trichuris trichiura dan trichuris
vulpis. Cacing ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia bila
menginfeksi dalam jumlah yang banyak.
a)
Taksonomi
·
Filum :
Nemathelminthes
·
Kelas :
Nematoda
·
Subkelas :
Adhenophorea
·
Ordo :
Epoplida
·
Superfamily :
Trichinellidae
·
Family :
Trichuridae
·
Genus :
Trichuris
·
Spesies :
Trichuris Trichiura
(linaeus : 1771),
(Jeffry HC dan Leach RM,1983)
b)
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan
hospes definitif utama pada cacing cambuk, walaupun kadang-kadang terdapat
juga pada hewan seperti babi dan kera. Penyakit yang disebabkan disebut trichuriasis
atau trichocepaliasis.
c)
Distribusi Geografik
Cacing ini bersifat
kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti di
Indonesia
d)
Epidemiologi
Faktor penting untuk
penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja.Telur tumbuh di tanah
liat, lembap dan teduh dengan suhu optimujm 300 C. Pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun merupakan sumber infeksi.Frekuensi di Indonesia tinggi.Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-90%.
Di daerah yang sangat
endemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis,
pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentanjg sanitasi dan kebersihan
perorangan terutama anak.Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang
dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang memakai tinja sebagai
pupuk.
e)
Morfologi
Panjang cacing betina
kira-kira 5cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4cm. bagian anterior lansing
seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian
posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat
tumpul.Pada cacing jantan mlingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa
hidup di kolon ascenden dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk
masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir
Tabel 1.1
karakteristikTrichurisTrichiura
Karakteristik
|
Trichuristrichiura
|
Ukuran cacing dewasa
|
|
Jantan
|
30-45 mm
|
Betina
|
35-50 mm
|
Telur
|
Panjang 50-55µm
Lebar 22-24 µm
|
Lokasi cacing dewasa
|
Sekum dan kolonasenden
|
Jumlah telur/ hari/ cacing
betina
|
3000-20000 butir
|
f)
Siklus Hidup
Cacing dewasa
menyerupai cambuk sehingga disebut cacing cambuk. Tiga per-lima bagian interior
tubuh halus seperti benang, pada ujungnya terdapat kepala (trix = rambut, aura
= ekor, cephalus = kepala), esophagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu
lapis sel, tidak memiliki bulbus esophagus. Bagian anterior yang halus ini akan
menancapkan dirinya pada mukosa usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi
usus dan perangkat alat kelamin.
Cacing jantan memiliki
panjang 30-45mm, bagian posterior melengkung kedepan sehingga membentuk satu
lingkaran penuh.Pada bagian posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol
keluar melalui selaput retraksi.Cacing betina panjangnya 30-50mm ujung
posterior tubuhnya membulat tumpul.Organ kelamin tidak berpasangan (simpleks)
dan berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.
Telur,
berukuran 50x25m, memiliki bentuk seperti tempayan, pada kedua
kutubnya terdapat operculum, yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol.
Dindingnya terdiri atas dua lapis, bagian dalam jernih, bagian luar berwarna
kecoklat-coklatan. Sehari, tiap ekor cacing betina menghasilkan 3000-4000 telur
; telur ini terapung dalam larutan garam jenuh.
Telur yang keluar
bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum membelah) tidak infektif.Telur
demikian ini perlu pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk
telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Dengan demikian, cacing ini
termasuk “ Soil Transmitted Helmints” tempat tanah berfungsi dalam pematangan
telur.
Manusia mendapat
infeksi jika telur yang infektif tertelan.Selanjutnya di bagian proksimal usus
halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa,
cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali
bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke
paru-paru.
Waktu yang diperlukan
sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur, 30-90
hari. Trichuris trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak
membutuhkan tuan rumah perantara.
g)
Gejala Klinis dan
Patologi
Cacing Tricuris pada
manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon
asedens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh
kolon dan rektum.Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami
prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.Ditempat pelekatannya dapat
terjadi perdarahan.Disamping itu cacing ini juga menghisap darah hospesnya,
sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama
anak-anak dengan infeksi Tricuris yang berat dan menahun,
menunjukann gejala diare yang sering diselilingi sindrom disentri, anemia,
berat badan menurun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.
Infeksi berat Trichuris
trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Infeksi ringann biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama
sekali tanpa gejala. Parasit sering ditemukan pada pemeriksaan tinja secara
rutin.
h)
Pengobatan
·
Albendazol 400mg (dosis tunggal)
·
Mebendazol 100mg (dua kali sehari selama tiga hari
berturut-turut)
4.
Strongyloides
stercoralis
Strongyloides adalah
spesies yang terdapat secara luas dinegara tropis dan subtropis, penyebab
strongyloidiasis pada manusia dan hewan peliharaan. Disebut juga strongyloides
intestinalis. Dulu disebut juga anguillula intestinalis atau anguillula
stercoralis.
a)
Hospes dan Distribusi
Manusia merupakan hospes
utama cacing ini, walaupun sebagian ada yang ditemukan pada hewan. Cacing ini
tidak mempunyai hospes perantara.penyakit yang disebabkan dari infeksi cacing
ini disebutstrongyloidiasis.
b)
Taksonomi
·
Phylum :
Nemathelminthes
·
Kelas :
Nematoda
·
Sub kelas :
Secernantea
·
Ordo :
Rhabditida
·
Super famili :
Rhabditidae
·
Famili :
Strongyloididae
·
Genus :
Strongyloides
·
Spesies :
Strongyloides stercoralis
c)
Morfologi
1)
Bentuk bebas (free
living form)
·
Betina :
Ukuran kurang lebih 1
x 0,05 mm,esofagus kurang lebih ¼ panjang tubuh sera pendek dan terbuka,uterus
berupa satu goresan yang lurus yang berisi 40-50 telur. Vulva terbuka disebelah
ventral dekat dengan pertengahan tubuh.
·
Jantan :
Cacing jantan memiliki
panjang ± 1 mm, dengan ekor melingkar
dengan spikulum, dan esofagus pendek dengan dua bulbus. Fusiform,
ukuran 0,7 x 0,07 mm. Esofagus tertutup,memiliki 2 spikula dan 1 gubernakulum,
ujung ekor runcing dan melengkung.
2)
Bentuk parasitik
·
Betina :
Halus dan transparan
,ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼ panjang tubuh. Pada wanita gravid
uterus berisi 10-20 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral
1/3 posterior panjang tubuh.
·
Jantan :
Menurut kreist (1932)
dan faust ada bentuk parasitik jantan paada manusia yang morfologinya sama
dengan morfologi jantan benruk bebas (free living). Namun belum ada
peneliti yang menemukan bentuk parasitik jantan ini selain kreist dan faust.
3)
Larva rhabditiform
Ukuran kurang lebih
380 x 20 µ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan ovoid
terletak diventral dekat intestinal. Mempunyai ekor kucing.
4)
Larfa filariform
Ukuran kurang lebih
630 x 16 µ, mulut tertutup, esofagus ½ panjang badan, ujung ekor
bercabang dua pendek (fork tail) atau tumpul saja, dan tidak
mempunyai sarung.
d)
Daur Hidup
Siklus hidup strongiloides
stercoralis cukup kompleks dengan adanya pergantian antara siklus tidak
langsung (siklus bebas/indirect cycle) dan siklus langsung (siklus parasitik/
direct cycle), serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi dalam tubuh
hospesnua. Siklus hidup cacing ini adalah sebagai berikut:
1)
Siklus langsung (siklus
bebas/ indirect cycle)
Sesudah 2 sampai tiga
hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron,
berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan benruk
infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit manusia, larva
tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan
sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus
alveolus, masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks
batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan
menjadi dewasa. Larva juga dapat menginfeksi dengan cara tertelan langsung.
Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.
2)
Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak
langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing
betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari bentuk
parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran
0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah
pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva
rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat menjadi larva
filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau 21larva
rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus langsung
ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang
kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.Siklus tidak langsung ini terjadi
bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropic
dengan iklim lembab.
3)
Autoinfeksi
·
Autoinfeksi internal :
Terjadi terutama pada
hospes yang mengalami gangguan obstipasi. Pada autoinfeksi internal, larva
rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi larva filariform. Larva ini
menembus mukosa usus, masuk kepembuluh darah kapiler kemudian kejantung lalu
keparu dan seterusnya melanjutkan siklus hidup.
·
Autoinfeksi eksternal :
Daerah perianal hospes
terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes defekasi , lalu larva ini tumbuh
menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus kulit perianal
dan masuk kedalam pembuluh darah kapiler.
e)
Epidemiologi
Daerah yang panas,
kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang,sangat menguntungkan cacing
strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung . tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur,berpasir,dan humus. Frekuensi
di jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15% sekarang jarang
dirtemukan. Pencegahan strongyloidiasis terutama tergantung pada sanitasi
pembuangan tin ja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya
dengan memakai alas kaki.
Distribusinya luas
diseluruh duni terutama di daerah beriklim tropis dengan sub tropis dan dapat
juga ditemukan beriklikm sedang. Pada umumnya distribusi terbatas di daerah
cuaca berhangat dan lembap karena merupakan situasi yang cocok untuk
perkembangan hidup larva S.Stercoralis.namun oleh karena gejalanya yang sering
subklinis dan masa hidupnya yang cukup lama ( Interval lima tahun, bahkan
pernah dijumpai satu kasus cacing ini dapat parasitik pada manusia selama enam
puluh lima tahun) maka seseorang dapat terinfeksi di daerah beriklim hangat
lalu berpindah tempat ke daerah beriklim dingin dan menjadi carier infeksi
S.Stercoralis bahkan tanpa menyadarinya.infeksi lebih sering dijumpai di area
pedesaan.oleh karena kontak petani dengan tanah serta pada kelompok-kelompok masyarakt
sosial ekonomi rendah.
f)
Gejala dan Patologi
Pada orang normal
gejala biasa sangat ringan atau tidak ada sama sekali. Infeksi berat
(disseminated infection) dapat terjadi pada penderita dengan diabetes melitus,
kurang gizi atau pada pasien dengan keadaan imunosupresi. Pada penderita yang
mendapat terapi dengan kortikosteroid, obat imunosupresi atau yang menderita
leukemia,limfoma,infeksi menahun, luka bakar dan gizi salah, bisa didapatkan
sindrom hiperinfeksi strongylodiasis yang ditandai dengan masuknya larva
filariform yang menimbulkan lesi di paru, kolon, hati dan alat lain. Gejala
klinik terutama mengenai tiga organ tubuh yaitu kulit, paru, dan usus.
1)
Kulit
Pada waktu larva
menembus kulit terjadi reaksi ringan, dengan gejala pruritus dan eritema bila
larva yang menembus kulit itu jumlahnya besar. Bila infeksi terjadi berulang
kali, penderita dapat membentuk reaksi alergi yang dapat mencegah parasit
tersebut melengkapi daur hidupnya. Pergerakan larvanya dihambat,
hingga migrasinya hanya terbatas pada kulit saja dan disebut larva migrans.
Istilah larva currens (racing larva) dipakai untuk kasus strongyloidiasis
dengan satu atau lebih alur urtikaria yang progresif dan dimulai pada daerah
perianal.
2)
Paru
Migrasi larva ke paru
dapat merangsang timbulnya gejala, tergantung dari banyaknya larva yang ada dan
intensitas respon imun hospesnya. Ada yang asimtomatik, adapula yang disertai
dengan pneumonia. Pada infeksi berat atau pada sindrom hiperinfeksi, dapat
disertai batuk-batuk, napas pendek, sakit di dada, disertai bunyi pernafasan
asthmatic whizzing (mengi) sampai berakibat fatal. Larva filariform dapat
ditemukan di dalam sputum pada umumnya gambaran radiologi thorax adalah
infiltrate bilateral atau fokal interstitial. Kadang-kadang ditemukan hemoragi
alveolar. Terjadi hiperemi mukosa bronkus, trakea dan larings. Pada biopsy paru
tampak larva disertai tanda-tanda peradangan.
3)
Usus
Gejala-gejala sakit
perut, muntah dan diare ditemukan pada penderita-penderita bilamana terdapat
banyak cacing dewasa dan larva di dalam mukosa usus. Terjadilah kerusakan
mukosa usus yang hebat sehingga gambaran jaringannya berubah menjadi
honeycomb feature. Biasanya kerusakan terjadi pada bagian proksimal usus halus
akan tetapi kadang-kadang kerusakan ditemukan pada gaster. Gambaran radiologi
mneyerupai penyakit Crohn.
Walaupun dikatakan
infeksi menahun disebabkan oleh sindrom malabsorbsi, tetapi Gracia dkk
menemukan bahwa malabsorbsi hanya terjadi pada kasus yang disertai dengan
protein malnutrisi berat, keadaan ini dapat diperbaiki dengan mengatasi protein
malnutrisi tanpa mengobati infeksi cacing tersebut. Pada infeksi menahun cacing
dewasa dapat menginvasi lambung dan menimbulkan gastritis, mungkin disertai
ulserasi hepatitis granulomatosa yang disebabkan oleh karena
infeksi.
Gambaran darah pada
permulaan gejala usus menunjukkan adanya leukositosis dengan eusinofili sampai
50 – 70 % pada beberapa kasus. Akan tetapi karakteristik infeksi menahun adalah
terjadinya penurunan jumlah eusinofil. Strongyloidiasis dapat menetap sampai beberapa
tahun. Beberapa diantaranya berlangsung sampai lebih dari 30 tahun sebagai
akibat kemampuan larvanya untuk menimbulkan autoinfeksi.
Selain
strongyloidiasis usus halus, dalam waktu yang sama dapat juga terjadi invasi
dinding usus besar. Seseorang pernah menderita strongyloidiasis usus menahun
selama 5 tahun, biasanya tanpa gejala hanya kadang-kadang disertai dengan
ucerative invasive colitis. Gejala ucerative invasive colitis ini timbul dan
hanya berlangsung 1 bulan sebelum pemberian terapi kortikosteroid kemudian
penderita meninggal pada bulan berikutnya karena hiperinfeksi.
4)
Hiperinfeksi
Autoinfeksi mungkin
merupakan mekanisme terjadinya strongyloidiasis pada manusia dalam jangka
panjang dan menetap bertahun-tahun setelah seseorang meninggalkan daerah
endemik. Mekanisme kekebalan hospes dan mekanisme reproduksi parasit berada
dalam keadaan seimbang sehingga tidak terjadi kerusakan berarti. Bila oleh
karena suatu hal terjadi kerusakan pada kekebalan seluler, maka keseimbangan
terganggu dan terjadi infeksi yang bertambah hebat sejalan dengan dihasilkannya
larva dalam, jumlah yang sangat banyak, yang mengadakan penetrasi ke seluruh
jaringan tubuh. Kedaaan malnutrisi, lepra lepromatosa, kanker, luka bakar dalam
stadium berat, radiasi sirosis dan kerusakan kekebalan seluler seperti
hipogamaglobulinemia dapat menyebabkan hiperinfeksi dan resisten terhadap
pengobatan spesifik. Akhir-akhir ini karena kebiasaan penggunaan obat-obat
adrenokortikosteroid dan immunosupresi lain, hiperinfeksi lebih sering terlihat
dan menjadi suatu peringatan penting dalam pengobatan. Selanjutnya HIV/AIDS
adalah penyakit yang dapat disertai strongyloidiasis invasi.
Walaupun ada gangguan
pada rekasi jaringan, termasuk mengurangnya pembentukan
granuloma, kerusakan yang disebabkan oleh sejumlah cacing yang
berlebihan menyebabkan ulserasi dan nekrosis usus kecil dan usus besar, ileus
paralitik dan bahkan perforasi. Migrasi ke dalam paru menyebabkan pneumonitis
disertai dispnea, sianosis dan batuk.Kegagalan pernapasan yang menyerupai
keadaan oedem paru sering dijumpai.Infiltrasi noduler sering terlihat pada foto
rontgen thorax.Dapat disertai hemoptisis.Terkenanya susuna saraf pusat dapat
menimbulkan retargi yang progresif, koma, dan kematian. Meningitis,
infark dan abses pada otak yang berhubungan dengan strongylidiasis diseminata
pernah dilaporkan .
Umumnya pada
strongylodiasis menahun dan larva currens prognosis. Pada kasus hiperinfeksi
massiv prognosis sangat buruk. Menghilangnya eosinofil secara umum menunjukkan
tanda memburuknya prognosis.
g)
Diagnosis
Diagnosis klinis tidak
pasti karena strongyloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang
nyata.Diagnosis pasti adalah dengan menemukan cacing dewasa, larva dan atau
telur dalam tinja, cairan asprasi duodenum dan atau sputum.Strongyloidiasis
usus dapat diduga dari adanya diare yang terus-menerus disertai lendir, sakit
dibagian atas perut dan adanya eusinofilia yang tinggi. Pemeriksaan tinja lebih
berhasil bila dilakukan dengan cara konsentrasi Bayermann dan formalin – ethyl
asetat. Sepertinya teknik Harada – Mori dengan kertas filter lebih baik
hasilnya untuk cacing tambang.
Cara lebih baru untuk
berdiagnosis infeksi strongyloides dengan metode biakan tinja dengan
mempergunakan lempeng agar. Kurang lebih 3 gram tinja diletakkan pada permukaan
lempeng agar yang biasanya digunakan untuk biakan bakteri dan diinkubasi selama
2 sampai 3 hari pada suhu 28°C. setelah masa inkubasi permukaan
lempeng agar diperiksa dengan mikroskop. Dinyatakan positif larva strongyloides
bila terlihat garis berkelok-kelok, tanda pertumbuhan bakteri sepanjang jejak
larva yang bergerak.Cara ini sangat efektif karena lebih dari 96% kasus yang
positif dapat didiagnosis dengan metode ini.
Tes immunodiagnostic
untuk strongyloidiasis dipertimbangkan bilamana diagnosis infeksi tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan tinja berulang-ulang atau dengan pemeriksaan
cairan aspirasi duodenum. Beberapa tes immunodiagnosis telah dibandingkan yaitu
suatu homemade enzyme – limited immunosorbent assai (ELISA) (Academic
Medical Center ELISA [AMC – ELISA]) dan suatu esei dipstik untuk
mendeteksi zat anti strongyloides stercoralis di dalam serum yang kemudian
dibandingkan dengan 2 tes yang didapatkan di pasaran yaitu ELISAs (IVD – ELISA
[IVD research, Inc] dan Bordier – ELISA [Bordier Affinity Product SA]) yang
digunakan untuk serodiagnosis strongyloidiasis. Kedua jenis ELISA
yang didaptkan di pasaran sebelumnya belum dievaluasi.Disini sensitifitas esei
dinilai dengan menggunakan serum 90 pasien yang telah terbukti menderita
strongyloidiasis intestinal dan serum 9 pasien dengan clinical larva currens.
Sensitifitas AMC – ELISA , dipstick assai, IVD – ELISA dan bordier ELISA
berturut-turut 93, 91, 89, dan 83 % untuk strongylodiasis intestinal sedangkan
8 diantara 9 serum dari penderita larva currens adalah positif. Spesifisitas
dievaluasi dengan menggunaan 220 spesimen serum yang berasal dari penderita
berbagai macam infeksi seperti infeksi parasitic, bakteri, virus, dan
jamur.Selanjutnya juga sampel serum yang mengandung antibody autoimun, dan
serum dari donor darah yang sehat. Spesifisitas AMC – ELISA, dipstick assay,
IVD – ELISA, dan Bordier – ELISA adalah berturut-turut 95,0 97,7 ,
97,2 , dan 97, 2 %. Ternyata keempat esei merupakan tes sensitif dan spesifik
untuk diagnosis strongylodilasis intestinal maupun kutan.
Tes radioallertgosorbant (RAST)
disimpulkan bahwa sebagian besar penderita memproduksi antibody IgE terhadap
antigen larva filariform. Penemuan ini dianggap sebagai pelengkap evaluasi
immunologi pada pasien strongylodiasis.
h)
Pengobatan
Karena S.Stercoralis
sangat potensial menimbulkan gejala menahun atau autoinfeksi selama beberapa
tahun atau autoinfeksi selama beberapa tahun dan sindrom hiperinfeksi, maka
semua penderita yang terinfeksi harus diberikan Ivermektin 0,2 kg/BB selam 1-2
hari dengan interval dua minggu. Ivermektin merupakan antihelmintik yang
mengikat diri kepada jalur ion sel saraf dan otot invertebrata.
Pada pasien yang
mendapat pengobatan imunosupresif. Pengobatan perlu diperpanjang dan
kadang-kadang tidak berhasil untuk itu perlu diberikan dua kombinasi macam obat
yaitu antihelmintik seperti invermektin dan albendazol,disertai antibiotik.
Untuk hiperinveksi dapat diberikan invermektin ( 200 mg/kg BB ) sekali seminggu
selama empat minggu. Pengobatan untuk hiperinveksi lebih baik dilakukan di
ruang gawat intensif karena pasien lebih mudah di pantau mengenai perubahan
status fisisologi dan laboratorium. Dahulu pengobatan spesifik dengan
thiabendazole harus diberikan minimum lima hari. Walaupun ada beberapa obat lain
yang pernah di berikan dalam penelitian seperti mabendazole akan tetapi sampai
saat ini obat tersebut tidak di anjurkan untuk pengobatan strongyloidasis.
Hasil pengobatan perlu di pantau dengan melakukan berkali-kali pemeriksaan
tinja.
Efek samping invermektin
anoreksia,nausea,diare,gatal,dan ngantuk sedangkan Albendazol nausea dan diare.
Pada umumnya efek samping adalah sementara dan dapat di atasi angka penyembuhan
tergantung dari pada beratnya kasus, dosis dan lama pengobatan sedangkan
kadang-kadang diperlukan lebih dari antihelmintik.Tehnik pemeriksaan untuk
keperluan diagnostik juga mempengaruhi tingginya angka penyuluhan. Enzim
imunoaxxay ( EIA ) yang telah dikembangkan oleh CDC,dapat digunakan sebagai
markers keberhasilan pengobatan terhadap strongyloidasis. Angka serologi dan
jumlah eosinofilik berkurang setelah sekelompok penderita strongyloidasis
diberi terapi.
i)
Prognosis
Infeksi berat pada strongyloidiasis dapat
menyebabkan kematian.
5.
Enterobius vermicularis
a)
Hospes dan Nama
Penyakit
Manusia adalah satu-satunya
hospes. Penyakit yang disebabkan oleh Enterobius
vermicularis disebut enterobiasis, oksiuriasis, infeksi cacing kremi.
b)
Taksonomi
·
Kingdom :
Animalia
·
Phylum :
Nematoda
·
Class :
Cecernentea
·
Subclass :
Rhabditia
·
Ordo :
Rhabditia
·
Subordo : Rhabditina
·
Superfamili :
Oxyuroidea
·
Famili :
Oxyuridae
·
Genus :
Oxyuris atau Enterobius
·
Spesies :
Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis
c)
Epidemiologi
Enterobius
vermicularis banyak terjadi di seluruh dunia dan penyebarannya kosmopolit.Kasus
yang disebabkan oleh E. vermicularis ini lebih banyak ditemukan pada daerah
dingin dibandingkan pada daerah panas.Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya
orang yang berdomisili di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam.
Selain itu, penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara
manusia satu dengan yang lainnya misalnya penularan dapat terjadi pada keluarga
atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, panti asuhan,
serta kelompok institusional lainnya) dan antar manusia dengan lingkungannya
misalnya di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang
mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja,
kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur,
pakaian, dan tilam. Infeksi parasit ini sering terjadi pada anak-anak pada usia
5-9 tahun sebab telur cacing dapat diisolasi dari debu dirungan sekolah atau
kafetaria sekolah dan juga dewasa diantara usia 30 tahun dan 40 tahun.
Hasil penelitian
menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3%-80%. Penelitian
di Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita
enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari
85 anak yang diperiksa.
Frekuensi di Indonesia
tinggi, terutama pada anak-anak lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi
lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
d)
Morfologi dan Daur
Hidup
Enterobius vermicularis dewasa merupakan cacing kecil berwarna keputih-putihan
dan halus.Pada ujung anterior terdapat pelebaran menyerupai sayap yang disebut
alae cephalic.Mulutnya dikelilingi oleh tiga buah bibir yakni sebuah bibir
dorsal dan dua buah bibir lateroventral. E.
vermicularis betina mempunyai ukuran panjang 8-13 mm dengan diameter
0,3-0,5 mm dan pada bagian posterior panjangnya kurang lebih 1/5 dari panjang
tubuh, tampak ujungnya runcing seperti duri yang terdiri atas jaringan hialin.
Kutikulanya tipis dan pada ujung anterior terdapat pelebaran kutikula yang bentuknya
seperti sayap yang disebut alae.Ketika di lihat bawah mikroskop nampak terlihat
otot esophagus dengan bulbus terminal yang besar.E. vermicularis betina ini
mempunyai ekor panjang dan runcing.Vulva terletak pada 1/3 bagian anterior
tubuh.Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur kecuali pada bagian
ekor.Alat genital berpasangan (duplex) seta anus terletak pada 1/3 posterior
tubuh. Enterobius vermicularis jantan mempunyai ukuran panjang 2-5 mm dengan
diameter 0,1-0,2 mm, mempunyai sayap, ekor tumpul, melingkar sehingga berbentuk
seperti tanda tanya, dan memiliki spikulum pada ekor meskipun jarang ditemukan.
Habitat E. vermicularis dewasa biasanya di usus terutama dibagian sekum dan
daerah sekitarnya yaitu appendix, colon ascendens, dan ileum.
Enterobius vermicularis betina yang gravid mengandung 11.000-15.000
butir telur dan setiap telur mempunyai ukuran kira-kira 50-60 µm x 20-30 µm,
bermigrasi ke daerah perianal jika sedang hamil atau bertelur. Karena suhu di
luar lebih rendah, E. vermicularis
bertelur dan mengeluarkan telurnya secara berkelompok di daerah perianal dan
perinium dengan cara kontraksi uterus vaginanya. Telur ini dapat melekat di
kulit dan objek lain. Telur jarang dikeluarkan di usus,dan tersembunyi dalam
lipatan perianal sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk
lonjong dengan kulit yang tipis dan lebih datar pada satu sisi
(asimetrik).Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing
tambang dan didalamnya berisi embrio yang terlipat. Telur menjadi matang dalam
waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara
dingin.Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.
Kopulasi E. vermicularis jantan dan betina
mungkin terjadi di sekum.E. vermicularis jantan mati setelah kopulasi sedangkan
E. vermicularis betina mati setelah bertelur.
Infeksi E. vermicularis terjadi bila menelan
telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal
bermigrasi ke usus besar.Jika yang tertelan adalah telur yang matang, maka
telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum
menjadi dewasa di jejunum dan bagian atas ileum.
Waktu yang diperlukan
untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai telur dewasa
gravid yang bermigrasi ke perianal berlangsung sekitar 2 minggu sampai 2
bulan.Akan tetapi mungkin daurnya hanya berlangsung 1 bulan kembali pada anus
paling cepat 5 minggu setelah pengobatan. E. verrmicularis berumur pendek,
maksimum 2,5 bulan.
e)
Cara Penularan
Anjing dan kucing
bukan mengandung Enterobiasis vermicularis tetapi dapat
menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Adapun
penularan penyakit enterobiasis dapat dipengaruhi oleh:
1)
Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal
(autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun
kepada diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang
terkontaminasi;
2)
Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan
oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan;
3)
Retroinfeksi melalui anus, yaitu larva dari telur yang menetas
di sekitar anus kembali masuk ke anus sehingga akan terjadi infeksi baru;
4)
Patologi dan Gejala Klinis.
Enterobius
vermicularis relative tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang
berarti.Gejala klinis yang sering terjadi kebanyakan bersumber dari iritasi
pada daerah sekitar anus, perineum, dan vagina oleh karena akibat migrasi
cacing betina yang gravid sehingga menyebabkan pruritus lokal yang membuat
penderita menggaruk daerah sekitar anus akibatnya timbul luka garuk di sekitar
anus.Keadaan sseperti ini sering kali terjadi pada waktu malam
hari sehingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.Pada penderita
anak-anak biasanya ketika pada waktu malam hari, anak tersebut tidurnya menjadi
terganggu, cengeng, dan menangis.Namun jika E. vermicularis masuk
ke dalam urethra, ke vesica urinaria maka anak sering ngompol.
Kadang-kadang E.
vermicularis dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
hingga ke lambung, esophagus maupun hidung akibatnya terjadi gangguan pada
daerah tersebut.Pada wanita, E. vermicularis betina gravid
mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tuba Fallopii sehingga dapat
menyebabkan salphyngitis pada saluran telur.E. vermicularis sering ditemukan
pada daerah appendix, tetapi jarang menyebabkan appendisitis.
Adapun beberapa gejala
infeksi Enterobius vermicularis antara lain berkurangnya nafsu
makan, berat badan menurun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi
menggeretak, dan insomnia.
f)
Diagnosis
Diagnosis pada
penyakit yang disebabkan oleh infeksi E. vermicularis pada anak dapat diduga
oleh karena rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari.Pemeriksaan feses
pada kasus ini kurang baik hasilnya dikarenakan hasil positif kurang lebih 5%
dari yang seharusnya.Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing
dewasa.Diagnosis yang paling baik adalah dengan menggunakan metode Sctotch
adhesive tape swab menurut Graham.Telur cacing dapat diambil dengan mudah
dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus dan pemeriksaan ini
dilakukan paling efektif pada waktu pagi hari sebelum mandi dan defekasi.
Anal swab adalah suatu
alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scotch
adhesive tape. Scotch tape atau sellophan tape yang transparan ditempelkan di
daerah perianal, lalu diangkat maka telur cacing akan menempel pada perekatnya
kemudian tempelkan scotch tape yang sudah tertempel telur cacing pada object
glass yang telah ditetesi oleh toluol atau larutan iodium dalam xylol untuk
pemeriksaan secara mikroskopik. Pemeriksaan perlu dilakukan berulang-ulang
dalam beberapa hari berturut-turut.Hal ini disebabkan karena migrasi cacing
betina yang hamil tidak teratur.Pada pemeriksaan pertama hanya dapat menemukan
kurang lebih 50% dari semua infeksi, pada pemeriksaan yang ketiga kalinya dapat
menemukan kurang lebih 90%.Pemeriksaan sampel feses secara rutin memberikan
diagnosis positif kurang lebih 5-15%.Seseorang dikatakan bebas dari infeksi E. vermicularis jika pada pemeriksaan
yang dilakukan 7 hari berturut-turut hasilnya negatif.
g)
Pencegahan
Pencegahan terutama
ditunjukan kepada kebersihan perorangan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti seprei teratur, ganti
celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku
secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Bila perlu toilet
dibersihkan dengan menggunakan desinfektan
h)
Pengobatan dan
Prognosis
Pengobatan dianjurkan
diberikan kepada seluruh anggota keluarga secara bersamaan bilamana ditemukan
salah seorang dari anggota keluarga tersebut mengandung E. vermicularis. Adapun obat-obat yang dapat diberikan untuk
pengobatan infeksi E.
vermicularis sebagai berikut :
1)
Piperazine
Zat ini dapat membasmi
cacing secara efektif, murah, dan aman, sehingga banyak digunakan.Pada
pemakaian obat ini tidak perlu diberikan laksans, sebab piperazine sendiri
sudah bersifat laksans lemah.
Jarang menimbulkan
efek samping, hanya saja pada pemakaian yang over dosis dapat mengakibatkan
gatal-gatal (urtikaria), mengantuk, dan sebagainya. Contoh obat paten yang
mengandung piperazine antara lain antepar dan bekacitrin.
Dosis :
untuk dewasa dosis tunggal 3-4gr atau 25mg/kg berat badan
(anak-anak) diminum dengan segelas air pada pagi hari sebelum atau sesudah
sarapan pagi sehingga obat sampai di sekum dan diminum selama 2 hari
berturut-turut.
2)
Pirvinum
Senyawa ini sangat
berkhasiat terhadap oxyuris.Mekanisme kerjanya merintangi pernafasan dan
proses-prose penting lainnya dari cacing.Cacing yang telah mati dikeluarkan
melalui gerak peristaltik usus.
Dosis : 0,5 mg/kg
BB untuk pemberian sirup pirvinum pamoat sebagi dosis tunggal. Pemberian
sebaiknya pagi hari sebelum makan pagi.
3)
Pyrantel
Pyrantel ini merupakan
derivate pirimidin yang sangat berkhasiat terhadap ascaris, oxyuris, dan cacing
tambang.Cacing-cacing yang lumpuh dikeluarkan dengan gerak peristaltik tanpa
menggunakan laksans.Pyrantel sangat tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita
hamil.Obat ini mempunyai efek samping kadang-kadang pada saluran pencernaan,
nyeri kepala, pusing, ruam, demam, mual, muntah. Contoh obat paten yang
mengandung pyrantel antara lain combantrin dan pyrantin.
Dosis :
oral sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½-2 tablet menurut usia
(10mg/kg) dan kembali diberikan minggu kedua dan keempat.
4)
Benzimidazole
Senyawa ini berfungsi
menghambat fungsi mikrotubuli pada manusia dewasa serta menyebabkan deplekasi
glikogen.sangatlah efektif. Adapun turunan dari senyawa ini antara lain
mebendazole, albendazole, dan thiabendazole.
·
Mebendazole
Senyawa ini merupakan
turunan dari benzimidazole.Obat ini baik sekali untuk pengobatan enterobiasis
karena efektif terhadap semua stadium perkembangan E. vermicularis. Obat ini mempunyai efek samping berupa
kadang-kadang diare, nyeri perut, jarang berupa leukopenia,agranulositosis,
hipospermia. Dosis : 100 mg untuk anak > 2 tahun, ulangi sesudah 2 minggu.
·
Albendazole
Senyawa ini merupakan
turunan dari benzimidazole.Obat ini bekerja dengan melakukan degenartif sel
usus cacing sehingga cacing tak mampu menyerap glukosa dari manusia dan membuat
cacing menguras habis simpanan glikogen mereka sebagai pengganti energi.Hal ini
membuat cacing lemah dan kemudian mati.Albendazol tidak dianjurkan
penggunaannya pada wanita hamil.Obat ini sangat efektif untuk mengatasi cacing
pipih, cacing cambuk dan cacing kremi. Efek samping dari penggunaan obat ini
yakni perasaan kurang nyaman pada saluran pencernaan, jarang berupa
leukopenia,agranulositosis, hipospermia.
Dosis : 400 mg sehari,
diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal untuk dewasa dan anak-anak > 2
tahun. Tablet dapat dikunyah, digerus ataupun dicampur pada makanan.Ulangi
dalam 2 minggu.Untuk anak-anak berumur 1-2 tahun diberikan dosis 200 mg sebagai
dosis tunggal.
·
Thiabendazole
Obat ini merupakan
obat pilihan. Efek samping dari obaat ini yakni sering mual, muntah, vertigo,
terkadang mengalami leukopesi, kristaluria, ruam, halusinasi, gangguan
olfaktorius,eritema multiforme, sindroma Steven-Jhonson dan jarang syok,
tinnitus, kolestasis intrahepatik, konvulsi, edema angioneurotik
Dosis : 25 mg/kg
BB (maksimum1,5 gr), harus diberikan sesudah makan, dua kali perhari yang diberikan
pada hari ke-1 dan ke-7
Selain dengan cara
pengobatan diatas (merdikamentosa), pasien juga diberikan terapi berupa
istirahat dan diet.
Prognosis dari
penyakit Enterobiasis baik apabila diberikan pengobatan secara periodik dan
penderita harus menjaga kebersihan diri serta lingkungan rumahnya.Prognosis
menjadi buruk apabila terjadi reinfeksi pada pasien jika tidak diberikan
pengobatan secara periodik tetapi tidak mengancam nyawa.
6.
Toxocara spp
Toxocara berasal dari
kata toxo yang berarti panah dan cara yang berarti kepala. Dua spesies penting
pada genus toxocara adalah toxocara canis (menginfeksi anjing) dan toxocara
cati (menginfeksi kucing).Kedua spesies ini dikenal sebagai cacing yang
biasanya menginfeksi anjing dan kucing dan menimbulkan visceral larva
migrans pada manusia.Penyakit yang ditimbulkan disebut toxocariasis.
Beaver (1972)
merupakan orang pertama yang melaporkan infeksi cacing ini pada manusia.Dari
survei yang pernah dilakukan, diketahui bahwa 2% penduduk telah terinfeksi
cacing ini.
a)
Distribusi Geografik
Toxocariasis merupakan
penyakit kosmopolitan pada manusia pemelihara kucing yang juga dapat ditemukan
di Indonesia, walaupun demikian banyak kasus yang tidak terdiagnosa. Di Jakarta
prevalensi pada kucing yaitu 26%, dan pada anjing 38,3%. Sedangkan di amerika
dilaporkan bahwa 2-90% anjing terinfeksi cacing ini.
b)
Morfologi
Telur cacing toxocara
canis berukuran 90 x 75 µ serta dinding telurnya berbenjol-benjol kasar. Ketika
dewasa, cacing toxocara canis jantan mempunyai panjang 3,6 – 8,5 cm, sedangkan
yang betina mempunyai ukuran 5,7 – 10,0cm. Telur cacing
toxocara cati berukuran 65 x 75 µ dengan dinding telur berbenjol-benjol halus
dan saat dewasa cacing toxocara cati jantan mempunyai panjang 2,5 – 7,8 cm
sedangkan yang betina mempunyai panjang 2,5 – 14,0 cm. Bentuknya menyerupai
ascaris lumbricoides muda. Pada toxocara cati terdapat sayap cervical yang
berbentuk seperti lanset, yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan yang
ditemukan pada toxocara canis, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular
kobra.Bentuk ekor cacing toxocara cati jantan seperti tangan dengan jari yang
sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat
meruncing.Walaupun keduanya sangat mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan
bentuk telur, cervical alae, dan ekornya.
c)
Siklus Hidup
Pada dasarnya siklus
hidup cacing ini sama dengan siklus hidup ascaris lumbricoides. Manusia dapat
terinfeksi cacing ini bila memakan makanan yang terkontaminasi telur cacing.
Telur infeksius ini akan menetas dalam usus dan larvanya menembus pembuluh darah
untuk ikut aliran darah ke seluruh tubuh dan terdampar di organ-organ tubuh.
Walaupun pernah diaporkan ditemukannya cacing dewasa pada 3 kasus, namun
dipercaya bahwa larva yang menetas di tubuh manusia tidak pernah menjadi
dewasa.
Siklus toxocara canis
dalam tubuh anjing lebih dikenal daripada siklus hidup toxocara cati dalam
tubuh kucing, namun kebanyakan orang menganggap keduanya adalah sama. Pada
anjing, siklus dimulai dari tertelannya telur yang berembrio oleh anjing.Telur
tersebut menetas diusus anjing dan larvanya melakukan migrasi ke jaringan.Pada
anjing betina yang sedang hamil, larva dapat bermigrasi ke hati fetusnya
sekitar hari ke 42 setelah infeksi dengan telur yang infeksius.Dalam hati
fetus, larva berkembang menjadi larva stadium ketiga.Setelah fetus tadi lahir,
larva cacing bermigrasi ke lambungnya melalui paru-paru.Pada hari ke12 larva
tadi sampai di usus halus dan mejadi dewasa 3 minggu kemudian.Larva di usus
anak anjing dapat pula dikeluarkan bersama feses yang apabila dimakan oleh
induknya, larva tadi menjadi dewasa diusus induk anjing untuk kemudian
menghasilkan telur dan siklus terulang kembali.Pernah dilaporkan juga bahwa
selain penularan transplasenta dari induk anjing ke fetusnya, penularan dapat
juga secara transmammary. Kemungkinan lain dari siklus hidup cacing
ini adalah :
· Ditelannya telur yang infeksius oleh anak anjing (berumur kurang
dari 3 minggu) yang kemudian menetas, migrasi melalui trakea dan menjadi
dewasa di usus halusnya;
· Tertelannya telur infeksius oleh anjing yang berumur lebih dari
3 minggu dan larva yang menetas akan berdiam di jaringan tubuhnya;
· Telur infeksius ditelan oleh tikus kemudian larvanya bermigrasi
ke jaringan tubuhnya. Bila tikus ini dimangsa oleh anjing yang berumur lebih
dari 3 minggu, maka larva yang ada akan bermigrasi ke usus anjing melalui
trakea;
· Telur infeksius tertelan oleh manusia, larvanya menetas dan
bermigrasi ke mata (menimbulkan kebutaan) atau di organ tubuh lain dan
menimbulkan eosinofilia.
d)
Patologi dan Gejala
Klinis
Pada manusia larva
cacing tidak menjadi dewasa dan hanya mengembara di organ dalam tubuh.Gejala
yang ditimbulkan pada toxocariasis sangat tergantung dimana larva cacing ini
berada. Berat ringannya penyakit yang ditimbulkan tergantung pada : a) jumlah
telur yang tertelan, b) jumlah larva yang melakukan penetrasi di dinding usus,
c) jumlah larva yang melakukan migrasi, d) status imunitas dari host, dan e)
letak larva dalam tubuh host. Pada infeksi ringan, hanya ditemukan eosinofilia,
sedangkan pada infeksi yang lebih berat dapat pula dijumpai demam, batuk,
nausea, dan muntah.Pada anak-anak sering dijumpai anoreksia, sakit sendi dan
otot, penurunan berat badan, dan kejang-kejang.Terkadang dapat ditemukan
hepatomegali. Gejala-gejala ini biasanya kemungkinan akan hilang setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Secara patologis,
gejala yang timbul dapat diterangkan dari reaksi tubuh yang ditimbulkan oleh
larva. Larva yang bermigrasi akan terjebak di suatu jaringan dan dapat
terbungkus dalam granuloma yang kemudian dihancurkan atau juga dapat tetap
hidup selama bertahun-tahun. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat
berupa perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil.
Kematian larva akan menstimulasi respon imun immediate-type
hypersensitivity yang menimbulkan penyakit visceral larva migrans
(VLM), dengan gejala demam, pembesaran hati dan limpa, gejala saluran
napas bawah seperti bronkospasme (mirip, hipergammaglobulinemia IgM, IgG, IgE).
Kelainan pada otak dapat menyebabkan kejang, gejala neuropsikiatrik, atau
encephalopati. Umumnya penderita VLM adalah anak usia dibawah 5 tahun karena
mereka banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah (geofagia atau pica)
yang terkontaminasi feses kucing. VLM dapat juga disebabkan oleh larva nematoda
lain.
Kelainan karena
migrasi larva pada retina mata disebut occular larva migrans
(OLM) biasanya unilateral dapat berupa penurunan penglihatan yang
dapat disertai strabismus pada anak, invasi retina disertai pembentukan
granuloma yang dapat menyebabkan terlepasnya retina, endofthalmitis, dan
glaucoma hingga kebutaan.Akhir-akhir ini diketahui bahwa banyak kasus mata yang
disebabkan oleh visceral larva migrans, namun selalu pada mulanya salah
didiagnosa.Pernah dilaporkan bahwa 15% dari penyakit yang semual di diagnosa
sebagai retinoblastoma dan setelah di enukleasi ternyata ditemukan larva di
dalam bola mata. Sehubungan dengan tingginya kesalahan diagnosa, maka sebagai
pedoman penegakan diagnosa adalah kumpulan gejela yang dianggap sebagai tanda
cardinal visceral larva migrans yaitu : a) dimilikinya anak anjing atau anak
kucing, b) penderita adalah anak-anak atau orang muda, c) hepatomegali, d)
pica, dan e) eosinofilia serta meningkatnya titer Ig E.
e)
Diagnosa
Diagnosa pasti VLM
dengan menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan namun sukar untuk
ditegakkan. Oleh karena itu, dapat dilakukan diagnosis serologi melalui deteksi
antibodi IgG terhadap antigen eksretori-sekretori larva toxocara canis disertai
eosinofilia (>2000 sel /mm3), atau peningkatan total IgE
(>500IU/ml) dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada penderita OLM,
imunodiagnosis kurang sensitif walaupun titer IgG yang lebih tinggi ditemukan
pada cairan aqueous atau vitreus.
Teknik pencitraan
seperti USG, CT scan, dan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi lesi
granulomatosa yang berisi larva toxocara.
f)
Pengobatan
Pasien dengan VLM
dapat diobati dengan Albendazol 400mg dengan dosis 2 kali perhari selama 5
hari.Reaksi alergi dapat diatasi dengan pemberian kortikosteroid.Pada penderita
OLM dilakukan operasi vitrektomi, pengobatan dengan anthelmintik, dan
kortikosteroid.
Cacing dewasa yang
terdapat pada anjing dan kucing dapat diatasi dengan penggunaan pirantel
pamoat, sedangkan larvanya dapat diatasi dengan penggunaan Dietil Carmbamasin
(DEC).
g)
Pengendalian
Pengendalian infeksi
dapat dilakukan dengan mencegah agar kucing atau anjing peliharaan tidak
membuang feses sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak, dan kebun
sayuran.Hewan yang telah terinfeksi dapat diobati dengan mebendazol atau
ivermectin. Anak kucing atau anak anjing secara rutin diobati mulai usia 2-3
minggu, dan setiap 2minggu hingga berusia 1tahun, sedangkan kucing atau anjing
dewasa diobati setiap 6 bulan sekali.
Pada manusia
pencegahan dapat dilakukan dengan mengawasi anak yang mempunyai kebiasaan
memakan tanah, meningkatkan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan sebelum
makan, tidak makan daging yang kurang matang, dan membersihkan dengan baik sayur
lalapan.
7.
Trichinella spiralis
Pada tahun 1835 James
Pagent, seorang mahasiswa kedokteran, menemukan larva dalam otot seorang italia
yang meninggal karena tuberculosis di rumah sakit London. Cacing pemilik larva
itu diberi namaTrichina Spiralis oleh Owen, yang kemudian diubah
menjadi Trichinella Spiralis. Zenker (1860) menemukan hubungan
penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini dengan kebiasaan memakan
sosis daging mentah. Selanjutnya penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini
diberi nama, seperti trichinosis atau trichiniasis atau trichinialliasis atau
trichinellosis.
Sebetulnua cacing ini
merupakan parasit pada hewan pemakan daging, namun manusia dapat mengidapnya
setelah memakan daging mentah, khususnya daging babi. Sebagaimana telah
dikatakan larva cacing ini sering ditemukan dalam otot manusia, walaupun
sebenarnya cacing ini memiliki fase hidup dalam usus juga, tetapi fase ini
jarang terdiagnosa.
a)
Distribusi Geografis
Hampir diseluruh
duniapernah dilaporkan adanya penyakit yang disebabkan cacing ini. Negara yang
terkena penyakit ini umumnya adalah Negara yang secara endemic masyarakatnya
memakan daging babi, antara lai Thailand, Kenya, Tanzania, dan
Segenal.Ditemukan juga di Iran dan Mesir. Negara – Negara Amerika Selatan,
termasuk Mexico dan Chili, dan juga Amerika Serikat masih mempunyai masalah
dengan penyakit ini .walaupun data tentang penyakit ini tidak terlalu banyak
dipublikasikan di Asia, namun diperkirakan penyakit ini tersebar luas diseluruh
Asia.
Dikenal 4 sub spesies
yang memegang peranan, yaitu Trichinella spiralisyang terdapat di
daerah beriklim sedang dengan babi sebagai reservoir, Trichinella
spiralis nativa yang parasitik bagi Carnivora di
daerah kutub misalnya beruang kutub dan walrus, Trichinella spiralis
pseudospiralis yang parasitik bagi burung pemakan daging.
b)
Distribusi Geografis
Larva yang terdapat
dalam daging bila termakan akan keluar dari cysternya di lambung, kemudian
larva ini bergerak menuji usus kecil, melakukan penetrasi mukosa usus dan
menjadi dewasa dalam satu minggu. Cacing dewasa dapat hidup beberapa minggu
dalam tubuh manusia (rata – rata 50 hari).Cacing dewasa jantan dan betina (1-4
mm) hidung dalam lapisan mukosa usus.Di situ mereka melakukan perkawinan
sehingga cacing betina melahirkan larvanya (100μm).Jumlah larva yang dihasilkan
dapat mencapai 1350-1500 ekor. Larva – larva ini kemudian bergerak ke pembuluh
darah, mengikuti aliran darah limfe menuju ke jantung dan paru, akhirnya
menembus otot. Dalam serat otot larva ini dikelilingi oleh sel Sertoli otot.
Biasanya larva ini menjadi infeksisus setelah berumur 30 hari dalam otot dan
siklus hidup akan terulang kembali bila otot yang terinfeksi termakan
oleh host. Jadi, sebenarnya pada cacing ini tidak dikenal
adanya intermediate host sebab seluruh siklus hidupnya terjadi
pada satu host saja. Larva yang tetap tinggal di otot akan
membentuk cyste dan dapat hidup sampai 11-12 tahun (dalam otot babi) atau 30
tahun (dalam otot manusia).
c)
Morfologi
Cacing jantan dewasa
berukuran1,4 – 1,6mm x 0,06mm , sedangkan yang betina berukuran 3-4mm x 0,6mm.
cacing ini memiliki esophagus sepanjang 1/3 sampai ½ panjang badang dan terdiri
dari stichocyte untuk membentuk esophagus tipe stichosome.
Cacing jantan tidak
memiliki spicule tetapi mempunyai copulatory appendages yang
berbentuk lobuler.Cacing betina memiliki uterus di sebelah anterior ovarium
yang terkadang Nampak berisi banyak sekali larva yang siap dilahirkan.
d)
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi
trichinosis diperkirakan antara 10-14 hari setelah memakan daging
yang terinfeksi yang bervariasi antara 5-45 hari. Variasi masa inkubasi ini
ternyata berhubungan dengan banyaknya larva yang dikonsumsi, sebab gejala dan
tanda – tanda penyakit baru Nampak jelas bila terjadi infeksi dengan 10 larva per
gram daging.
Tanda utama infeksi
dengan cacing ini berupa eosinofilia disertai gejala berupa pembengkakan di
daerah wajah dan sekitar mata.Pembengkakan di kelopak mata disebabkan karena
larva menembus capillair (kapiler) yang menyebabkan perdarahan dan darah
tertimbung di jaringan.Pada infeksi berat dapat dijumpai sakit perut disertai
diare atau obstipasi, anoreksia, dan kelemahan. Dari seluruh gajala tadi
karakteristik adalah timbulnya demam yang dapat dikatakan tidak pernah terjadi
pada infeksi dengan cacing lain. Pada saat larva masuk kedalam otot (biasanya
yang disukai oleh larva adalah otot seranlintang) ia akan merusak sarkolema
otot sehingga timbul myositis, penderita merasakan nyeri otot hebat yang
disertai dengan eosinofilia serta pembengkakan pada kelopak mata. Bilamana
larva masuk ke otot jantung terjadilah myokarditis dan bila mengikuti aliran
darah menuju otak dan paru terjadilah encephalitis dan bronchopneumonia. Semua
gejala ini umumnya mereda setelah minggu kelima infeksi. Pada infeksi
yang sangat berat sering dijumpai gagal jantung yang diakhiri dengan
kematian.Namun yang menarik adalah tidak ditemukannyaeosinofilia pada infeksi
berat.
Secara histologist
pada fase cacing menjadi dewasa, ditemukan adanya pembengkakan dan infiltrasi
di daerah usus disamping tanda – tanda radang dan sekresi usus yang
berlebihan.Pada fase larva sedang bermigrasi sering dijumpaiinflamasi pembuluh
darah sampai hemorrhagi, dan fase larva sudah berada di otot, ditemukan peradangan
otot, dan degenerasi sel otot sampai kalsifikasi cyste.
e)
Diagnosis Laboratoris
Diagnoswa trichinosis
ditegakkan dengan melakukan biopsy diotot deltoid atau gastrocnemius. Biasanya
sebagian specimen difiksasi dan diwarnai untuk melihat adanya larva, dan
sebagian lagi diperiksa sebagai preparat segar melalui teknik digesti.
Pemeriksaan serologis
dilakukan dengan teknik Bentonite Flocculation (BFT) dan
ELISA. Titer BFT yang lebih tinggi atau sama dengan 1 : 5 menunjukkan telah
terjadi infeksi baru dengan larva Trichinella Spiralis. Sedangkan
tes ELISA baru positif setelah 38 hari terinfeksi dan akan tetap
positif sampai sepuluh tahun setelah infeksi.
f)
Pengobatan
Thiabendazole,
Mebendazole dan Pyrantel pamoate merupakan obat yang efektif bagi penderita
dalam fase intestinal, tetapi saying fase ini sulit didiagnosa.
g)
Epidemiologi
Infeksi Trichinella
spiralis pada manusia sudah sering dilaporkan, bahkan pernah terjadi
beberapa kali outbreak di beberapa Negara.Daging babi yang
terinfeksi dianggap sebagai sumber penularan utama bagi manusia yang sering mamakan
daging mentah atau tidak benar – banar matang.Namun, sekarang bukan daging babi
lagi yang merupakan sumber penularan utama melainkan daging binatang buruan.
Sampai saat ini dikenal lebih dari 40 spesies carnivora, 20 spesies
tikus, 6 spesies insectivora dan 2 spesies ikan paus, walrus,
dan burung yang menjadi sumber penularan Trichinella Spiralis.
Hewan – hewan inilah yang sekarang dianggap sebagai reservoir utama dan tidak
dikenal adanya penularan dari orang ke orang.
Pengawasan penularan
terutama dilakukan dengan penyuluhanj kesehatan dan mengubah kebiasaan memakan
daging mentah.Pemanasan diatas 65,60C yang merata diseluruh daging
dianggap cukup memadai untuk membunuh larva cacing ini.Larva pada daging yang
terinfeksi dengan ketebalan 15 cm dapat dibunuh dengan jalan dibekukannya pada
suhu -250C selama 10 hari.Untuk daging yang lebih tebal dari 15cm
diperlukan waktu pembekuan 20 hari.
KESIMPULAN
1.
Nematoda yang hidup sebagai parasit, merupakan jumlah spesies
paling banyak. Kebanyakan hidup bebas di air tawar, laut serta ada juga yang
hidup di lumpur atau tanah perkebunan. Manusia merupakan hospes beberapa
nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia.
2. Berdasarkan cara penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu nematoda usus yang ditularkan melalui tanah soil
transmitted heminths yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan
tanah untuk pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektif.
3.
Nematoda usus yang terpenting bagi manusia tediri dari :
·
Ascaris lumbroicoides
·
Cacing tambang
·
Trichuris trichura
·
Strongyloides
stercolaris
·
Enterobius
vermicularis
·
Toxocara canis dan
toxocara cati
·
Trichinela spiralis